Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Pertemuan G-7 (26/5) yang diselenggarakan di Jepang diharapkan memberikan terobosan baru dalam penanganan krisis global. Seperti diketahui, harga-harga komoditas utama seperti minyak mentah masih dalam posisi stagnan kurang dari US$55 per barel. Selain itu pertumbuhan ekonomi global terus diprediksi menurun, terbukti dari beberapa kali revisi yang dilakukan oleh IMF hingga terakhir dipatok 3,2% di tahun 2016 atau menurun 0,2% dibandingkan prediksi Januari 2016.
Menanggapi kondisi pelemahan ekonomi, negara-negara G-7 yang terdiri dari Inggris, Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan Italia pun sebelumnya telah melakukan berbagai upaya hingga yang terakhir kebijakan suku bunga negatif. Hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan yang terbaru muncul berbagai gagasan tentang helicopter money atau pembagian uang secara gratis ke masyarakat untuk mendorong konsumsi. Ini jalan terakhir apabila kebijakan moneter gagal.
Keputusasaan terjadi karena kebijakan suku bunga negatif yang diberlakukan di bank sentral Eropa dan Jepang tidak mampu memindahkan simpanan masyarakat ke dalam bentuk konsumsi. Teori ekonomi yang berlaku tak mampu diaplikasikan. Hingga akhirnya muncul kritik dari kalangan internal IMF bahwa kebijakan moneter neoliberal sudah terbukti gagal. Yang diperlukan saat ini adalah stimulus fiskal.
Munculnya ide kebijakan stimulus fiskal serentak diantara negara G-7 merupakan hal yang diharapkan. Stimulus ini mencakup pemotongan pajak, meningkatkan pembangunan infrastruktur, hingga meningkatkan upah pekerja secara signifikan yang dapat diberlakukan di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi dibawah 3%.
Dan yang lebih radikal lagi adalah meningkatkan pajak tinggi pada bunga deposito. Tujuannya mendorong masyarakat untuk melepaskan keinginan untuk menabung dan secepat mungkin membelanjakan uangnya. Ini bentuk disinsentif yang mungkin efektif dibandingkan pemberlakuan suku bunga negatif. Uang hasil pajak deposito juga dapat digunakan Pemerintah untuk membiayai infrastruktur dan membuka lapangan kerja. Jadi ada semacam cross stimulus atau stimulus silang.
G-7 sekaligus hendak menjawab bahwa tantangan ekonomi kedepan makin kompleks. Abenomics yang diadopsi oleh Jepang dan negara maju lainnya lupa pada satu hal. Ketika motor industri tidak bergerak dan konsumsi masyarakat menurun drastis, Keynes telah menawarkan ramuan yang tak bisa ditolak, Pemerintah harus turun langsung ke titik persoalan dengan menaikkan belanja secara signifikan. Jika terlambat, krisis saat ini bisa lebih parah dari tahun 1930 atau dikenal dengan The Great Depression. Keynes berulang kali sudah mengingatkan bahwa pasar punya keterbatasan. Jika terlambat bertindak maka benarlah pepatah lama Keyness, in the long run we are dead.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…
Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…
Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…