Pembangunan Marak, Kemiskinan Meningkat

Pembangunan Indonesia dengan berbagai programnya pada hakikatnya ditujukan untuk mengangkat kepentingan rakyat. Membangun manusia Indonesia bukan sekedar urusan ekonomi. Kita tidak cukup sekadar membuat perutnya kenyang, tetapi rakyat juga harus mampu mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Orang yang cukup makan dan sehat, namun tidak berpendidikan dan tidak bisa membaca, dia belum berkembang secara budaya.

Oleh karena itu, di tengah derap pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah di berbagai daerah, kita merasa miris mendengar pengakuan jujur dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres mengatakan, rasio ketimpangan sosial (rasio gini) di Indonesia saat ini sudah masuk kategori lampu kuning. Artinya, jika tak segera diperbaiki, bukan tak mungkin ketimpangan ‎akan berimbas buruk, seperti terjadinya konflik.

Menurut Kalla, rasio gini di Indonesia saat ini sudah mencapai 0,41. “Jika ditafsirkan, 1 persen penduduk Indonesia saat ini menguasai hampir 50 persen aset bangsa,” ucap Kalla dalam sambutannya pada HUT Universitas Paramadina ke-18 di Jakarta, belum lama ini.

Kalla menyatakan, pemerintah tak tinggal diam menghadapi tingginya rasio gini tersebut. Setidaknya ada dua cara yang sudah dilakukan selama ini. Pertama, adalah mengoptimalkan pajak. Namun, untuk menggenjot penerimaan pajak, sistemnya juga harus berjalan baik. Untuk itu, pada sektor ini perlu teknologi inovasi agar capaian penerimaan pajak bisa ditingkatkan.

Cara kedua, adalah menaikkan golongan menengah. “Masyarakat harus dibiasakan berwiraswasta. Pemerintah juga sudah mengucurkan Kredit Usaha Rakyat sebanyak-banyaknya dengan bunga kecil,” ujar Kalla. Dia juga memuji layanan ojek berbasis daring, antara lain Go-Jek. Menurut Kalla, inovasi yang mereka lakukan bisa mengangkat harkat para tukang ojek dalam waktu singkat.

Pembangunan biasanya sangat mementingkan aspek ekonomi, sedangkan aspek ekonomi itu sangat mendewakan pertumbuhan. Dalam proses pertumbuhan itulah banyak rakyat yang tertinggal. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Pola pembangunan yang tidak seimbang membuat kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial makin melebar.

Keprihatinan serupa juga dinyatakan peneliti ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Agus Eko Nugroho. Ia mengaku miris dengan pertumbuhan ekonomi nasional, karena indeks pembangunan manusia terus merosot. “Fakta pertama, indeks pembangunan manusia (Human Development Index) belum menunjukkan perkembangan yang meyakinkan. Dari 188 negara, Indonesia menempati urutan 111,” kata Agus, pada 29 Desember 2015.

Kedua, ketimpangan ekonomi antara kelompok tajir dengan masyarakat dhuafa di Indonesia, menjulang tinggi. Hal ini ditandai dengan peningkatan rasio gini dari 0,3 pada tahun 2000 menjadi 0,41 di 2014. Hal ini memperlihatkan ketimpangan semakin melebar. Ada pertumbuhan ekonomi, tapi tidak diikuti kualitas pembangunan.

Uraian tersebut menggambarkan, strategi pembangunan selama ini belum optimal dalam memecahkan isu kualitas pertumbuhan. Hal ini juga mencerminkan masih jauh dan berlikunya jalan untuk menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Untuk mengatasinya, perlu pemerataan akses dalam konteks infrastruktur sosial dan ekonomi, sebagai salah satu prasyarat dasar menuju pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial.

Bagaimanapun, miskin dan kaya, dalam balut teori globalisasi jadi masalah sangat serius. Dan sangat dominan dalam perdebatan pro dan kontra. Atas nama pengelompokan global negara miskin, atau terjajah dan atau termarjinalkan akibat ketidakadilan sistem ekonomi global maka terjadilah perselisihan serius dengan negara-negara yang dikelompokan dalam negara kaya atau maju. Bahkan sudah menjurus ke peperangan global baru.

Begitu pula dengan miskin dan kaya. Perbedaan antara keduanya harusnya mendorong terciptanya sebuah ‘harmoni keluarga’ baru yang mampu menegakkan sebuah peradaban. Bukan sebaliknya, miskin dan kaya dipaksa terus menerus untuk selalu bercerai, selalu jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling sikut dan berselisih. Untuk itu, tugas pemerintah memperkecil jurang (gap) antara kaya dan miskin harus serius dilakukan, dan menghasilkan makin mengecilnya angka Koefisien Gini, bukan malah makin melebar seperti saat ini. 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…