Pangan Komoditas Strategis

Menetapkan konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia secara sembarangan bisa berakibat fatal. Pasalnya, data konsumsi beras maupun produksi beras mempunyai makna strategis bagi ketahanan pangan nasional.

Pengambilan keputusan untuk merancang program yang didasarkan pada data yang salah tentu berdampak negatif. Di negeri ini konon segala macam data tersedia, namun yang sulit dicari adalah data yang benar. Karena produksi beras nasional selalu terkait dengan luas tanam, luas panen, asumsi kehilangan produksi bila terjadi bencana kekeringan atau banjir dan sebagainya.

Kemudian, semua itu akan berdampak pada penyediaan pupuk, benih, pestisida, dan selanjutnya pada pengadaan stok Bulog serta rencana impor bila memang diperlukan. Apabila perencanaan didasarkan pada data yang tidak sahih, rentetan kerugiannya sungguh tak terbayangkan.

Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, akan muncul malapetaka. Pada 1960-an bangsa kita pernah mengalami kesulitan pangan, rakyat antre untuk mendapatkan pangan. Sebagian masyarakat makan gaplek, tiwul, atau bulgur, bukan nasi. Saat ini pun secara insidental kita masih melihat antre saat bantuan pemerintah datang untuk masyarakat miskin.

Ketidaktahanan pangan masih tetap menjadi problem yang menghadang di depan mata dan dapat menimbulkan instabilitas politik maupun sosial. Apa yang menjadi kerisauan bangsa ini adalah hampir seluruh penduduknya gemar makan nasi. Tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pangan nasional adalah kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan. Penyelenggaraan pangan mempunyai tujuan utama yakni pemenuhan konsumsi pangan masyarakat.

Kedaulatan pangan dimaknai sebagai hak bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan pangan. Termasuk di dalamnya hak masyarakat untuk menghidupkan potensi sumber daya lokal dalam produksi pangan. Sementara pengertian kemandirian pangan adalah menyangkut kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan dari dalam negeri untuk seoptimal mungkin dapat menjamin pemenuhan pangan penduduk.

Yang terakhir ketahanan pangan, ini lebih menyangkut pada aspek terpenuhinya pangan bagi negara dan perseorangan sehingga tercapai derajat hidup sehat, aktif, dan produktif. Ketahanan pangan mempunyai dimensi ketersediaan (produksi), akses (daya beli), stabilitas (sepanjang waktu), dan konsumsi (untuk kesehatan).

Produksi padi memperoleh perhatian utama karena kebutuhan dalam negeri yang luar biasa banyak. Para penyuluh pertanian selama ini lebih fokus pada produksi beras sehingga pangan sumber karbohidrat lain nyaris kurang mendapat perhatian.

Mereka yang digdaya dalam pangan dapat menggunakan kekuatan pangannya sebagai senjata untuk mengembargo (menyetop ekspor pangan) ke negara-negara lain yang tidak sejalan garis politiknya. Kedua, negara maju dengan sumber daya alam terbatas seperti Singapura atau Jepang.

Dua negara tersebut dapat dikatakan tidak mampu berswasembada pangan, namun ketahanan pangannya jauh lebih tinggi dibandingkan negara kita. Kita barangkali termasuk sebagai negara tipe ketiga, yaitu belum dapat disebut sebagai negara maju dan sekaligus masih mempunyai persoalan besar di bidang ketahanan pangan meski memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah.

Laporan dari Food Insecurity and Vulnerable Atlas (WFP, 2010) menyebutkan terdapat 100 dari 346 kabupaten/kota di Indonesia yang tergolong daerah rawan pangan. Ciri wilayah rawan pangan adalah tingginya persentase kemiskinan, gizi kurang, serta buruknya infrastruktur.

Di dunia ini pemakan nasi bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi kita adalah yang tertinggi. Per kapita per tahun konsumsi beras di Malaysia sekitar 80 kg, Thailand 70 kg, Jepang 50 kg, Korea 40 kg, dan Indonesia 115 kg. Kita merasa belum kenyang kalau belum makan nasi, yang kini menjadi pangan pokok paling favorit bagi masyarakat Indonesia.

Karena itu, saatnya pemerintah aktif sosialisasi memperbaiki pola konsumsi pangan untuk mengurangi proporsi nasi memerlukan beberapa prasyarat. Pertama, diperlukan pengetahuan tentang pola konsumsi pangan yang berbasis pada keberagaman. Secara filosofis pengetahuan akan membangkitkan kesadaran dan akhirnya membentuk kebiasaan.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan aneka produksi pangan lokal sebagai sumber kalori, protein, dan gizi rakyat. Adalah omong kosong apabila kita menghendaki pengurangan konsumsi beras, namun produk-produk pangan lainnya sebagai pengganti nasi kurang tersedia di pasaran.

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…