Pembayaran Cost Recovery Migas Diperkirakan Turun

 

 

NERACA

 

Jakarta – Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi memperkirakan realisasi pembayaran cost recovery minyak dan gas pada tahun ini sebesar US$14,1 miliar, turun 12,3 persen dibandingkan realisasi tahun lalu US$16,3 miliar.

Menurut Amien, serapan cost recovery tahun ini masih didominasi dan dialokasikan untuk mendukung aktivitas operasi berikut kegiatan eksplorasi. Ia merinci cost recovery untuk mendukung kegiatan produksi mencapai 52 persen, sedangkan untuk kegiatan eksplorasi 24 persen. Di luar itu, ada alokasi untuk pos depresiasi sekitar 20 persen, administrasi 8 persen, kredit investasi sekitar 3 persen dan dikurangi unrecovered cost sebesar 7 persen.

"Tapi angka ini baru perkiraan, karena kami masih finalisasi angka akhir. Kalau dlihat dari persentase, atau tingkat penyerapan terhadap RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) terlihat bahwa pada umumnya cost recovery lebih tinggi dari APBNP (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan), dan realisasinya di bawah RKAP," jelas Amien di Gedung DPR, Senin (30/11).

Mengutip data SKK Migas per 30 November 2015, realisasi penyerapan cost recovery sejak 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan di tengah turunnya angka produksi migas nasional. Pada 2010, realisasi penyerapan cost recovery sebesar US$11,76 miliar, naik menjadi US$15,22 miliar pada 2011 dan menjadi US$15,54 miliar pada 2012.

Sementara untuk penyerapan cost recovery pada 2013, realisasinya mencapai US$15,92 miliar dan menembus US$16,30 miliar pada 2014. "Bisa dilihat kalau dulu penyerapan 100 persen (dari proyeksi), turun sedikit jadi 91 persen dan 89 persen. Kalau sekarang diperkirakan 97 persen," kata Amien. Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika meminta SKK Migas lebih seksama mengategorikan komponen-komponen mana saja yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery.

Hal ini ini dimaksudkan agar perhitungan cost recovery bisa lebih akuntabel dan tak merugikan negara, khususnya terkait pembagian hasil produksi (final entitlement). "Jadi harus jelas mekanisme dan komponen-komponen mana saja yang bisa diganti oleh negara. Tapi jangan jadi alasan juga kenapa angka produksi turun," kata Kardaya ketus

 

 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…