Gonjang-ganjing Rupiah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah belakangan ini, setelah beberapa saat mengalami penguatan. Apalagi dengan munculnya serangan teroris di Paris, Prancis, hal ini tentu berpengaruh  di pasar internasional. Dan seperti biasa, imbasnya para pemodal pun kembali mengubah kebijakan investasinya. Salah satu caranya, antara lain dengan segera mengalihkan ke instrumen investasi yang aman atau memindahkan aset ke mata uang yang menguat seperti dolar AS atau yen Jepang. Hasilnya, mata uang selain dolar dan yen mendadak terkapar, termasuk rupiah dan mata uang Asia lainnya.

Tidak hanya itu. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan masih ada potensi untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami tekanan di 2016. Bahkan, pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi mampu melebihi level Rp14.000 per US$.

Menurut Direktur Riset CORE Indonesia Mohammad Faisal, tekanan nilai tukar rupiah akan datang akibat dari sentimen negatif perekonomian Tiongkok serta kemungkinan bank sentral AS (The Fed), menaikkan tingkat suku bunga acuannya dalam waktu dekat

"Menguatnya sentimen negatif terhadap perekonomian Tiongkok dan adanya potensi Fed untuk menaikkan Fed Fund Rate juga akan menyebabkan nilai tukar rupiah berpotensi melemah di atas Rp14.000 per US$ di 2016," kata Faisal di Jakarta, Rabu (18/11).

Selain kondisi internal dalam negeri, keadaan semakin diperburuk aksi serangan udara balasan dari Prancis ke pusat ISIS di Raqqa, Suriah, tentu berimbas pada meningkatnya kekhawatiran atas gangguan pasokan minyak dunia di satu sisi dan semakin tak menentunya kondisi Timur Tengah di sisi yang lain. Kondisi seperti ini dianggap memenuhi syarat oleh para pemilik modal untuk tanpa ragu-ragu memindahkan aset ke instrumen-instrumen investasi yang berkategori aman.

Meski neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2015 yang masih tercatat surplus, ternyata gagal mengerek rupiah menjadi lebih baik. Menjelang akhir sesi perdagangan akhir lalu, BPS merilis neraca perdagangan untuk Oktober 2015 tercatat surplus US$1,01 miliar sehingga secara year to date, Januari-Oktober 2015, surplus perdagangan sudah menduduki angka US$8,16 miliar. Namun, secara spesifik surplus terjadi bukan karena peningkatan volume perdagangan, tapi karena penurunan angka impor yang ternyata cukup dalam, bukan karena kondisi ekspor yang membaik.

Sudah hampir bisa dipastikan, kondisi surplus yang agak kurang membahagiakan ini akan mendorong BI untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5%. Artinya, pemangkasan suku bunga yang semula diharapkan akan mampu menambah oli pertumbuhan belum bisa dihadirkan dalam waktu dekat karena alasan ekonomi yang ternyata juga tak bisa diandalkan saat ini.

Justru dalam kondisi yang makin tak pasti, termasuk gonjang-ganjing rencana kenaikan tingkat suku bunga The Fed, kebijakan memangkas suku bunga akan menjadi kebijakan yang berbahaya serta penuh risiko karena BI dipastikan akan fokus pada pengaruh eksternal yang akan memengaruhi pergerakan rupiah di satu sisi dan ancaman peralihan dana investor di sisi yang lain.
Bagaimanapun, secara eksternal fokus perhatian pasar masih akan tertuju pada rapat FOMC mendatang, setelah mendapat guncangan tiba-tiba dari aksi teror di Paris. Secara teknis, terlepas apakah suku bunga The Fed akan dinaikkan atau kembali ditunda, rupiah diperkirakan akan mencapai di kisaran Rp13.650-Rp14.000 per US$ karena kedua kondisi yang akan terjadi, kenaikan atau penundaan, sebenarnya sama-sama mengandung risiko yang cukup berbahaya bagi Indonesia.

Jika The Fed menaikkan suku bunga, yield atau imbal hasil instrumen investasi yang berdenominasi dolar akan terkerek naik dan akan menyedot banyak modal global ke mata uang dolar. Ancaman capital outflow akan merebak kemudian menekan mata uang rupiah, mengganggu eksposur impor dan mengerek naik harga-harga barang modal impor, dan mengendurkan fundamental ekonomi nasional.

Selanjutnya, BI pun diperkirakan akan menaikkan tingkat suku bunga acuan domestik mengikuti aksi The Fed untuk memperkecil kemungkinan capital outflow dan menguras devisa negara untuk melakukan pembelian aset di pasar sekunder untuk menahan penurunan permintaan mata uang rupiah sehingga dalam konteks ekonomi riil, insentif untuk sektor kredit akan semakin mengering, pertumbuhan ekonomi akan semakin seret karena dinamika ekonomi riil akan semakin lemah. Waspadalah!

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…