Rupiah Terus Bergoyang

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sekarang selalu menjadi topik menarik banyak sejumlah pihak. Karena menimbulkan banyak masalah seperti harga barang impor menjadi lebih mahal. Padahal industri manufaktur masih mengimpor sekitar 40% hingga 60% bahan baku. Selain itu, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta menjadi lebih besar akibat perubahan kurs tersebut. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kini terdepresiasi 17% menjadi Rp 14.720 per US$.

Tidak hanya itu. Depresiasi akan menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia. Artinya, harga produk dan jasa Indonesia menjadi lebih mahal dilihat dari sudut mata uang asing (US$). Padahal selama ini yang menjadi andalan daya saing ekspor produk dan jasa Indonesia hanyalah harga yang murah.

Mengingat dampaknya yang serius bagi perekonomian nasional, penyebab depresiasi kurs rupiah terhadap US$ antara lain munculnya kebijakan The Fed yang mulai mengetatkan kembali stimulus (tapering off) setelah kondisi ekonomi AS membaik. Ini ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran secara drastis menjadi hanya 7,6% dan sinyal The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebelum 2016, membuat para pemilik uang di negara Paman Sam itu segera menukar aset keuangannya ke dalam US$ karena lebih menarik.

Faktor lainnya yang mendorong depresiasi rupiah, adalah adanya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam UU disebutkan secara eksplisit bahwa Indonesia menganut rezim devisa bebas, dimana orang boleh membawa ke luar ataupun masuk mata uang asing termasuk US$ berapapun dan kapanpun. Artinya jika dolar AS dalam jumlah besar diambil dari pasar uang Indonesia untuk disimpan di AS karena bunganya lebih menarik, maka hal itu dengan mudah dilakukan tanpa hambatan apapun.

Ada yang menilai rezim devisa Indonesia paling bebas di dunia bahkan dari AS sendiri. Sistem nilai tukar yang dianut Indonesia sejak krisis 1997/1998 adalah sistem nilai tukar mengambang (floating rate), sehingga berapapun kurs rupiah terhadap US$ akan dibiarkan tanpa intervensi dari BI. Implikasi dari semua ini adalah perlunya UU No. 42/1999 harus direvisi sesuai kemajuan zaman.

Adalah mereka yang paling menderita adalah perusahaan yang mengandalkan pendapatan dalam rupiah namun menanggung utang dalam bentuk dolar. Korporasi yang punya pendapatan dalam dolar pun mengeluh ketika hasil industrinya mengalami penurunan nilai dan volume. Selain itu, lebih banyak lagi korporasi yang tergerus labanya akibat dolar yang makin tinggi dan melemahnya rupiah.

Respons cepat pemerintah dan BI, serta DPR ditunggu pelaku usaha. Imbauan pemerintah agar pasar jangan panik terhadap pelemahan rupiah, tidak cukup. Jangan biarkan fluktuasi rupiah bergerak liar yang pada akhirnya memperparah perekonomian nasional.

Kita sudah melihat langkah pemerintah menggelontorkan kebijakan stimulus. Harus diakui kebijakan September I yang telah diumumkan Presiden Jokowi tidak begitu fokus dan detil menyebutkan apa saja aturan yang diubah. Begitu juga implementasinya tak terlihat signifikan, sehingga membuat pasar ragu.

Dalam hal kebijakan, pemerintah dan BI tak boleh bergantung pada asing. Investor asing tak akan memarkir dana ke negara yang perekonomian mengalami perlambatan. Mereka akan lebih memilih negara-negara lain selain Indonesia, yang kondisi perekonomiannya lebih menjanjikan. Asing kita yakini bakal masuk ke pasar saat kondisi perekonomian kita sudah pada tahap recovery.

Selain itu, bertahannya neraca defisit transaksi berjalan (current account)  juga disebabkan oleh masih besarnya impor migas sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap US$ kian melemah akibat penerimaan devisa ekspor lebih kecil dari impor. Ini berarti pasokan dolar AS berkurang atau permintaan US$ meningkat akibat pengaruh impor yang meningkat. Karena itu fluktuasi kurs rupiah menjadi sulit diperhitungkan karena faktor-faktor tersebut.

Pemerintah sepatutnya mampu menggenjot ekspor lebih besar ketimbang impor, hal ini juga mencerminkan daya saing perekonomian kita lebih baik. Jadi, pertama-tama, pemerintah harus menggenjot ekspor lebih besar dari impor. Langkah ini paling benar ketimbang menambah pinjaman luar negeri, baik ke bank, bilateral, multilateral, maupun menerbitkan obligasi global. Utang yang membengkak di tengah daya saing ekonomi yang rendah, hanya akan menjadi bumerang seperti halnya negara di zona euro yang dilanda krisis berkepanjangan.

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…