Krisis Menerpa Asia

 

Di tengah kerisauan masyarakat, pemerintah tetap optimis bahwa belum ada tanda-tanda krisis ekonomi menerjang Indonesia. Umumnya pejabat pemerintah menyalahkan krisis global sebagai penyebab pelemahan ekonomi maupun rupiah di negeri ini. Namun, Bank Indonesia sendiri menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun menjadi 4,7%-5,1% mengingat kondisi yang tak menentu belakangan ini.

Dari pengalaman krisis 1997/98, Indonesia terdampak ketika Thailand kolaps terlebih dulu dan baru menerpa rupiah langsung melejit menjadi Rp 16.000 saat itu, dan ini menjadi penyebab awal terjadinya krisis ekonomi di waktu lalu.  

Kini perlambatan ekonomi 2015 mulai menerpa kawasan Asia. Setidaknya, ada beberapa pertanyaan penting yang muncul dari kondisi yang terjadi saat ini. Apa yang terjadi dengan kondisi makroekonomi Asia saat ini? Negara mana yang terkena dampak paling parah akibat perlambatan ekonomi Tiongkok dan ancaman kenaikan suku bunga (The Fed) AS?

Perlambatan ekonomi yang berawal dari Tiongkok disusul kemudian kebijakan devaluasi yuan, lalu isu kenaikan suku bunga AS sekaligus apresiasi dolar Amerika Serikat, menjadi ancaman besar bagi outlook pertumbuhan ekonomi Asia. Kedua faktor itu menyebabkan kawasan regional harus melakukan penyesuaian.

Menurut hasil riset Morgan Stanley yang membagi sejumlah kategori dampak dari dua sentimen utama dari Tiongkok dan AS terhadap negara Asia. Pertama, negara yang terkena dampak terparah dari perlambatan Tiongkok dan kenaikan suku bunga AS adalah Singapura, Hong Kong, Malaysia dan Indonesia.  Kedua, negara dengan dampak terparah perlambatan ekonomi Tiongkok namun tak terlalu terkena dampak isu kenaikan suku bunga AS: Taiwan dan Korea. Ketiga, negara dengan dampak terendah perlambatan ekonomi Tiongkok dan kenaikan suku bunga AS: Filipina, Thailand, dan India.

Malaysia saat ini merupakan negara dengan performa terburuk di Asia. Hal itu dapat dilihat dari pergerakan mata uang mereka. Kemarin, misalnya, ringgit melorot ke level terendahnya dalam 17 tahun terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, ringgit terdepresiasi hingga 0,8% menjadi 4,2485 per US$. Bahkan pada transaksi sebelumnya, nilai tukar ringgit berada di level 4,2990, level terendah sejak Juli 1998 silam. Jika dikalkulasikan, sepanjang 2015, pelemahan ringgit sudah mencapai 18%.

Bahkan, pemangkasan tingkat suku bunga acuan Tiongkok untuk kali kelima sejak November gagal mengangkat performa ringgit. Sebelumnya, Komisi Anti Korupsi Malaysia mengeluarkan pernyataan pada 3 Agustus lalu bahwa Perdana Menteri Najib Tun Razak telah menerima dana senilai 2,6 miliar ringgit atau setara dengan US$ 608 juta dari donor.

Perekonomian Malaysia juga terpukul sentimen kemerosotan harga minyak dunia. Pasalnya, penurunan harga minyak Brent pada awal tahun ini memukul pendapatan eksportir minyak Malaysia. Tak hanya itu, penurunan harga crude palm oil (CPO) sebesar 16% juga memberikan sentimen negatif kepada ekonomi Malaysia yang merupakan negara produsen CPO kedua terbesar dunia.

Berbeda dengan Filipina yang dinilai sebagai negara di Asia yang paling tahan banting saat ini. Ada beberapa alasan yang menunjukkan ekonomi Filipina lebih kuat. Pertama, tingkat investasi asing di pasar obligasi dan saham terbilang rendah sehingga menjaga kondisi pasar saham Filipina dari aksi jual besar-besaran. Kedua, rendahnya produksi sumber daya alam di Filipina membuat negara tersebut aman dari kemerosotan harga komoditas dibanding Indonesia dan Malaysia.

Bagaimana dengan Indonesia? Dilihat dari pelemahan rupiah dan penurunan pasar saham, kondisi makro Indonesia saat ini tak jauh berbeda dengan Malaysia. Sejumlah analis menilai, kondisi makro Indonesia sangat rentan dengan adanya keputusan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dan devaluasi yuan.

Tidak mengherankan jika Bank Indonesia (BI) akhirnya kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan mencapai 4,7%-5,1%. Angka proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh BI sebelumnya, yaitu sebesar 5%-5,4%.

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…