Oleh: Agus Yuliawan
Pemerhati Ekonomi Syariah
Pada Agustus 2015 ada dua perhelatan akbar di tanah air—yaitu dua organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menggelar muktamar di tempat yang berbeda. Untuk NU, muktamar ke-33 bertempat di kabupaten Jombang – Jawa Timur (1-5 Agust.), sedangkan Muhammadiyah akan menyenggarakan muktamar ke - 47 di Makasar – Sulawesi Selatan (3-7 Agust.). Ada sisi menarik dalam acara perhelatan akbar dua organisasi massa terbesar di tanah air itu dan menjadikan sorotan mata nasional dan internasional. Diantaranya adalah gerakan ekonomi umat dari kedua organisasi tersebut.
Seiring dengan perkembangan sejarah dan peradaban—dua organisasi tersebut dikenal dalam gerakan dakwah agama dan pencerahan bangsa, yang out put-nya selama ini banyak menghasilkan para kader-kader bangsa yang berkualitas dari sisi ilmu pengetahuan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT serta memiliki kontribusi besar bagi jalannya roda pemerintahan dan pembangunan nasional. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dua organisasi tersebut, telah melakukan transformasi gerakan dakwah dalam pengembangan ekonomi umat.
Terbukti di akar rumput, banyak sekali dijumpai pengembangan ekonomi umat berbasis pesantren yang dikembangkan NU mampu menggerakan sektor riil. Begitu juga di kalangan Muhammadiyah, telah banyak inovasi-inovasi pengembangan ekonomi berbasis amal usaha di luar rumah sakit dan lembaga pendidikan.
Kebangkitan dua organisasi Islam dalam mengembangkan ekonomi tersebut—menjadi kewaspadaan bagi negara-negara ASEAN dan negara lain. Mengapa tidak? Bayangkan jika NU yang selama ini memiliki jaringan pesantren dan jutaan para santrinya mampu memenuhi segala kebutuhan ekonomi baik primer dan sekunder berapa triliun uang yang berputar di organisasi tersebut.
Begitu juga Muhammadiyah dengan jaringan amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia, jika mampu terkonsolidasi baik, berapa perusahaan-perusahaan sektor riil yang akan berdiri untuk mendukung amal usaha Muhammadiyah. Bahkan sangat dimungkinkan dengan jumlah karyawan di AUM yang sangat besar, Muhammadiyah mampu mendirikan perusahaan otomotif mobil dan motor. Secara teori ekonomi ini bisa terjadi, karena supply and demand jelas, baik pasar dan pendanaan. Tinggal kebijakan yang perlu dirumuskan oleh kedua organisasi tersebut dalam mengimplementasikannya.
Keberhasilan dan kemandirian secara ekonomi dua organisasi Islam itu memang cukup diakui—karena usia organisasi tersebut sudah berjalan satu abad dan lebih dulu hadir dari pada negara ini. Sehingga pengalaman-pengalaman dalam kemandiriannya banyak menghasilkan karya-karya dan inovasi yang monumental. Terkadang pemerintah Indonesia, juga belajar kepada NU dan Muhammadiyah dalam menjalankan negara. Apalagi NU dan Muhammadiyah mampu membangun civil socety yang dibangun dari bawah ke atas yang akhirnya membuahkan kesadaran masyarakat dalam kemandirian.
Dua organisasi Islam inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa ini, tanpa intervensi pemerintah mereka mampu membangun struktur ekonomi dari hulu hingga hilir. Bahkan dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, juga dipelopori oleh dua organisasi tersebut. Artinya dua kekuatan organisasi tersebut mampu dijadikan mitra pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik pertanian, perdagangan, kelautan, kehutanan, lembaga keuangan dll.
Begitu juga ditengah globalisasi dan persaingan pasar bebas, NU dan Muhammadiyah, bisa dijadikan bumper pemerintah, dengan cara mendorong mereka untuk mampu memproduksi barang dan jasa yang mampu didistribusikan dan dikonsumsi oleh umat. Untuk menghadapi pasar bebas tersebut NU dan Muhammadiyah sangat siap melakukan itu ini semua. Jangankan membuat barang atau jasa membuat uang komunitas atau e-money community NU dan Muhammadiyah sangat siap.
Tinggal pemerintah, bagaimana dalam membangun relationships dengan kedua organisasi Islam tersebut. Apakah pemerintah terus bersikap hegemony atas dasar penguasa ataukah bersinergi yang saling mendukung. Maka itulah jika pemerintah mampu bersinergi, diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat amar makruf nahi mungkar dan memilki kearifan lokal, bukan kebijakan penindasan atas nama bahasa kekuasaan. Jika ini terjadi, tidak mungkin tidak ekonomi konstitusi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bisa kita jalankan. Bukan ekonomi neo liberal yang kini dipaksakan di negeri ini.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…
Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…
Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…