Pinjaman Multilateral Dinilai Minim Risiko

 

 

NERACA

 

Jakarta - Risiko penarikan pinjaman dari multilateral dinilai kalangan ekonom lebih terjaga dibanding bilateral ataupun penerbitan surat berharga, asalkan pemerintah memastikan dapat menghapus syarat-syarat memberatkan yang biasanya kerap diminta oleh lembaga donor multilateral. "Saya pikir 'terms of condition' dengan lembaga donor harus benar-benar diubah. Tidak boleh lagi ada syarat seperti konsultan proyek yang harus dari lembaga donor tersebut," kata Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Alexander Sugandi di Jakarta, Rabu (3/6). 

Eric menilai, saat ini pemerintah juga tidak memiliki pertimbangan lain jika dihadapkan pada pilihan sumber pembiayaan lainnya. Untuk penerbitan surat berharga pemerintah misalnya, Eric menilai, imbal hasil (yield) yang ditawarkan harus tetap tinggi sebagai kompensasi dari risiko volatilitas rupiah kepada investor. "Lihat 'government bonds' itu 'yield'-nya masih tinggi 8 persen. Prospeknya masih rendah. Ditambah lagi masih tingginya tekanan inflasi," kata dia.

Dia menuturkan, jika memang ingin mengoptimalkan pinjaman multilateral, pemerintah harus memastikan syarat-syarat yang memberatkan pemerintah seperti penunjukkan dan pembayaran konsultan asing, dan juga pembebasan lahan yang diatur lembaga donor harus benar-benar diubah. "Semuanya harus dibawah otoritas pemerintah," kata dia.

Sedangkan dari sisi pinjaman bilateral, Eric menilai pinjaman multilateral masih lebih menguntungkan. Berkaca dari beberapa proyek sebelumnya, syarat dari pinjaman bilateral lebih berat dibanding syarat dari lembaga donor multilateral. Negara-negara yang menawarkan pinjaman, ujar Erik, biasanya mensyaratkan Indonesia untuk menarik pasokan bahan baku/penolong, barang modal, hingga tenaga kerja dari negara pember pinjaman. "Itu terjadi di beberapa proyek sebelumnya, seperti proyek pembangunan Jembatan Suramadu," ujarnya.

Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) menawarkan pinjaman bagi Indonesia sebesar 11 miliar dolar AS untuk 3-4 tahun mendatang. Dari rencana pendanaan sebesar 11 miliar dolar AS itu, sebanyak 8 miliar dolar AS berasal dari International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD. Sisanya, 3 miliar dolar AS, berasal dari International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago mengatakan tawaran pinjaman dari Bank Dunia cukup menguntungkan dan tidak terlalu membebani defisit fiskal pemerintah ke depannya. "Masa tenggang pengembaliannya lama. Masa tenggang bebas cicilan cukup panjang. Bunganya juga lebih murah daripada surat utang," katanya.

 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…