DPR Restui Pengenaan Cukai pada Minuman Bersoda

 

NERACA

 

Jakarta – Beberapa anggota DPR menyatakan persetujuan atas rencana pengenaan cukai untuk minuman bersoda. Diantara Anggota DPR Komisi XI, Hendrawan Supratikno dan Muhammad Misbakhun yang menyetujuinya. Supratikno mengatakan upaya memperluas sektor yang bisa ditarik pajak merupakan langkah yang bisa diambil pemerintah. Pasalnya, sumber-sumber penerimaan negara lebih bervariasi, dan lebih sehat. Dengan target penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun, tentu pemerintah dituntut kreatif. Bukan menyasar pada sumber-sumber pajak yang sudah ada, seperti cukai rokok. "Tentu saja saya setuju," kata Supratikno di Jakarta, Senin (18/5).

Anggota Komisi XI DPR lainnya, Mukhamad Misbakhun mengatakan, rencana tersebut sejalan dengan Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 1995 yang kemudian diamandemen menjadi UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, salah satu yang paling diharapkan adalah mempermudah langkah ekstensifikasi. Sesuai pesan beleid tersebut, salah satu objek untuk menggenjot penerimaan negara adalah pengenaan cukai bagi minuman bersoda. “Sebenarnya rencana ekstensifikasi objek kena cukai tersebut sudah disampaikan Kementerian Keuangan sejak 2012 lalu. Namun kenapa belum kelihatan perkembangan yang nyata?,” tanya dia.

Menurut dia, ada strategi yang harus ditempuh pemerintah agar rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi bisa terlaksana. Pertama, pendefinisian minuman ringan berkarbonasi harus jelas mengacu pasal 2 UU tentang Cukai agar landasan pengenaan cukai benar secara material. “Kriteria dalam UU Cukai yang tepat sebagai landasan pemungutan adalah konsumsi barang tersebut perlu dikendalikan serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan,” papar dia.

Misbakhun menambahkan, bahan adiktif yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi terdiri dari pemanis buatan, zat pewarna, dan zat pengawet. Komposisi bahan-bahan tersebut, banyak yang dapat menimbukan dampak negatif bagi kesehatan. Akibat konsumsi berlebihan, dapat menyebabkan obesitas, diabetes mellitus, batu ginjal, osteoporosis, dan kerusakan gigi. “Fakta ilmiah ini sebenarnya sangat kuat untuk mendasari pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi,” ujarnya.

Dia menegaskan, ketika beban keuangan negara begitu besar, maka pemerintahan harus memanfaatkan momen krusial ini sebagai salah satu sumber tambahan penerimaan negara. “Karena itu, pengenaan cukai minuman bersoda sejalan dengan strategi pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak atau cukai sebagai sumber penerimaan negara,” tukas Sekretaris Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR ini.

Disisi lain, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Prijosoesilo mengatakan pelaku usaha mau tidak mau akan membebankan besaran cukai yang ditetapkan pemerintah kepada konsumen. "Saya dengar nilai cukai yang akan dibebankan ke minuman berkarbonasi berkisar Rp1.000-Rp5.000 per liter. Nilai ini sangat tinggi dan pasti mengerek harga jual produk minuman bersoda di pasaran," ujarnya.

Dia memaparkan pihaknya dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) telah melakukan kajian terkait produk ini. Hasil penelitian memaparkan tingkat elastisitas minuman bersoda -1,7. Artinya, jika harga naik 10% maka permintaan akan turun sebesar 17%. Padahal, lanjut Triyono, pertumbuhan produsen minuman berkarbonasi tidak lebih tinggi dibanding produk-produk minuman ringan lain yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data Asrim, total produksi minuman ringan di Tanah Air mencapai 27 miliar liter per tahun. Produk air minum dalam kemasan (AMDK) mendominasi pasar dengan total 20 miliar liter per tahun. "Kontribusi minuman berkabonasi hanya 700 juta liter per tahun. Tingkat pertumbuhan produk ini juga hanya berkisar 3%-4% per tahun," imbuhnya.

Triyono menjelaskan sebagian besar konsumen Indonesia lebih suka membeli produk AMDK dan minuman ringan berjenis teh dan jus ketimbang minuman berkarbonasi. Rata-rata konsumsi minuman karbonasi di Indonesia berkisar 2,4 liter per kapita per tahun. secara rata-rata tingkat rata-rata hanya 8 botol per tahun.

Berkaca dari hal ini, dia mempertanyakan alasan pemerintah dan Panja Penerimaan DPR RI yang mengusulkan agar minuman berkarbonasi dikenakan cukai karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat. "Selain itu, minuman berkarbonasi tidak hanya diproduksi oleh perusahaan besar. Ada juga perusahaan menengah bahkan UKM yang menjualnya. Kalau cukai benar-benar diterapkan, kami khawatir banyak pelaku usaha yang gulung tikar," tukasnya.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…