Kapan Tahap Ketiga Eksekusi Mati Gembong Narkoba Dilaksanakan?

 

Oleh : A. Jambak, Koordinator Forum Dialog Publik, Pekanbaru, Riau.

 

 

Mengamati beberapa pemberitaan media massa nasional dan media massa internasional terutama media online, sehari setelah pelaksanaan eksekusi mati dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran menimbulkan pro dan kontra atas eksekusi mati tersebut. Sebagian yang bersikap kontra mangajak boikot Bali dan mendorong agar PM Tony Abbott bersikap lebih keras terhadap Indonesia. Namun, sebagian pihak yang pro menilai ajakan itu sebagai sikap munafik, karena seharusnya tidak hanya Indonesia yang diboikot, namun juga semua negara yang masih menerapkan hukuman mati seperti AS, Thailand, Tiongkok, Singapura, India, dan juga Mesir. Bahkan seorang ekonom Australia, Tim Harcourt menilai ide boikot Bali atau Indonesia justru hanya akan memperparah keadaan dan mengancam ekonomi Australia, mengingat terdapat sekitar 2.500 eksportir Australia yang menjual produknya ke Indonesia, dan angka itu terus bertumbuh.

Menteri Pertanian, Bamaby Joyce mengatakan, pihaknya mendorong berbagai pihak untuk melakukan kajian terbuka terkait hukuman mati di Australia. Hal tersebut didasarkan atas pandangan sebagian besar warga Australia yang tetap mendukung adanya hukuman mati. Terkait penarikan duta besar, Bamaby mengatakan, langkah diplomatik tersebut dinilai sebagai tindakan teknis untuk memanggil duta besar guna melakukan konsultasi. Sementara itu, beberapa analis politik di Australia menilai kebijakan penarikan duta besar tersebut akan menjadi bumerang bagi Pemerintah Australia karena Australia lebih memerlukan Indonesia daripada Indonesia memerlukan Australia.

PM Australia Tony Abbott mengecam tindakan eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran karena dinilai kejam dan tidak perlu dilakukan. Sementara itu, Menlu Julie Bishop menegaskan bahwa akan ada dampak diplomatik bagi Pemerintah Indonesia pasca pelaksanaan eksekusi mati. Sedangkan Pemimpin oposisi Partai Buruh Bill Shorten mengecam Pemerintah Indonesia yang dinilai telah merampok kehidupan terpidana mati dan menjadikan tindakan eksekusi mati tersebut sebagai legitimasi dalam memperkuat hukum Indonesia. Terkait hal tersebut, Pemerintah Australia menarik Duta Besar Australia untuk melakukan konsultasi dan mempersiapkan pengumuman ketidaksenangan terhadap eksekusi mati tersebut.

Sekitar awal April 2015 di Canberra, Perdana Menteri Tony Abbott mengatakan, pembentukan satgas anti narkoba sebagai upaya untuk memerangi penyebaran dan penggunaan narkoba yang sudah mencapai tahap epidemi di Australia. Satgas tersebut memiliki kewenangan dalam pemberantasan penggunaan, penjualan, pembuatan dan impor narkoba di Australia. Sementara, Menteri Kehakiman Michael Keenan mengatakan selain dengan kewenangan tersebut, satgas akan mengawasi perkembangan dari dampak penggunaan dan permintaan narkoba di Australia.

Sementara itu, Wakil Menlu Brasil, Sergio Franca Danese mengatakan, Pemerintah Brasil menyatakan keterkejutannya atas eksekusi mati terhadap warganya Rodrigo Gularte oleh Pemerintah Indonesia, dan akan mengevaluasi hubungan diplomatiknya dengan Indonesia. Sebelumnya, pada Januari 2015 warga Brasil lainnya, Marco Archer Cardoso Moreira yang juga mengeksekusi mati karena kejahatan serupa, Brasil telah menarik Dubesnya.

Presiden Perancis Francois Hollande mengancam akan men-down grade level diplomatik Indonesia-Perancis setingkat Kuasa Usaha dikedua Perwakilan akreditasi, seiring ketegasan Pemri untuk segera mengeksekusi mati Serge Atlaoui yang terkait Narkoba. Sementara, pihak keluarga Atlaou juga menggalang simpati kepada Presiden Hollande maupun perwakilan Uni Eropa guna menyelamatkan Serge Atlaoui dari ancaman eksekusi di Indonesia. Senada dengan itu, Menlu Perancis, Laurent Fabius menyatakan bahwa “coersive diplomacy” akan terus diupayakan guna membebaskan warganya dari hukuman mati.

Dubes RI untuk Perancis, Hotma Pandjaitan kembali menegaskan, keputusan Jakarta bersifat tetap dan mengikat, dan Indonesia tidak akan bergeming dengan apapun tekanan Perancis. Menurutnya, Indonesia adalah negara berdaulat secara hukum maupun  politik, dan untuk itu, Jakarta pun mampu bersikap resiprokal melalui langkah-langkah diplomasi yang “high-profile”. Sementara itu, beberapa pengamat politik di Perancis menilai tekanan Hollande dan Fabius merupakan perang urat-syaraf yang biasa terjadi dalam konteks diplomasi, dimana kedua negara tengah mengalami ketegangan.

 

Respon di Indonesia

 

Di Jakarta, Indonesia For Mercy dan SBH komunitas Advokat Syariah menyeleggarakan diskusi bertema "Asia African Solidarity Tanpa Hukuman Mati, Meninjau Ulang Hukuman Mati Dalam Tradisi Islam, Hak Asasi Manusia dan Fair Trial". Menurut salah seorang aktivis yang menjadi pembicara di diskusi tersebut menyatakan, hukuman mati jelas merampas hak manusia untuk bertobat. Sedangkan, Koordinator Kontras, Harris Azhar mengatakan, banyak penerapan hukum yang dibungkus dengan popularitas agama atau mayoritas agama. Haris menilai hukuman mati merupakan sebuah penyanggah popularitas di suatu negara. Dalam aturan HAM disebutkan, bahwa hak untuk hidup itu adalah hak fundamental. Permasalahannya saat ini banyak warga Indonesia yang masih setuju dengan adanya hukuman mati, hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa sistem hukum di Indonesia sangat jelek dan banyak penegak hukum yang korup.

Menurut penulis, sebenarnya hukuman mati diberlakukan di Indonesia bukan karena untuk menyanggah popularitas, karena sekarang ini duet pemerintahan baru Indonesia dibawah Jokowi-JK memiliki niat untuk menegakkan supremasi dan kedaulatan hukum di Indonesia.

Ya, memang harus diakui secara langsung atau tidak langsung bahwa sistem hukum di Indonesia masih belum tertata dengan baik serta adanya penegak hukum yang korup, tapi alasan ini juga tidak tepat jika digunakan untuk menolak penerapan hukuman mati di Indonesia, karena sekali lagi dilaksanakannya tahap pertama dan tahap kedua eksekusi mati karena output kinerja jajaran jaksa dan hakim yang telah mengeluarkan vonis hukuman mati terhadap gembong narkoba, sedangkan Presiden Jokowi hanya “menguatkannya” saja ketika ada yang meminta grasi pasti akan ditolak oleh lelaki asal Solo yang humble ini.

Pemerintah Indonesia konsisten menerapkan hukuman mati, karena Indonesia sudah masuk darurat narkoba, setidaknya karena 33 orang tewas akibat narkoba setiap hari, 200 pabrik narkoba didirikan di Indonesia, serta kerugian material yang sangat banyak akibat narkoba. Bahkan, dalam perspektif strategis, sebenarnya narkoba merupakan alat “infiltrasi’ untuk merusak masa depan generasi muda bangsa. Ini yang dilupakan mereka yang menolak hukuman mati di Indonesia, termasuk pendapat kurang cerdas dari Sekjen PBB yang juga menolak hukuman mati.

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…