Keamanan Energi Nuklir dan Kemanfaatan Energi Laut - Oleh: Prof Dr Rokhmin Dahuri, Guru Besar IPB, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI

Setelah meledaknya reaktor nuklir di Three Mile Island, Pennsylvania,  AS, 1979, Paman Sam yang menjadi “pionir” pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) mulai meragukan efektivitas dan keamanan “produsen” energi tersebut. Pasalnya, betapa pun besarnya tingkat keamanan sebuah reaktor, tak akan mampu melawan kecelakaan dan bencana alam yang akhir-akhir ini sering mengguncang bumi. Tragedi bocornya radiasi pada PLTN Fukushima, Jepang akibat gempa bumi berskala 8-9 skla Richter yang diikuti tsunami raksasa, membuat pakar-pakar nuklir cemas, apakah proyek PLTN layak dilanjutkan atau tidak!

Jepang, negeri yang suplai energinya amat tergantung PLTN, kini mulai ragu apakah harus mempertahankan ketergantungannya pada energi nuklir atau mencari alternatif sumber energi lain yang lebih aman. Pasca bocornya radiasi reaktor Fukushima, Pemetrintah Jepang mulai menghentikan operasi PLTN-nya satu persatu. Publik Jepang sudah mulai tidak percaya terhadap keamanan PLTN dan menganggap PLTN membahayakan masa depan generasi muda Jepang.  Sebuah polling yang diadakan setelah bencana Fukushima menyatakan bahwa antara 41 dan 54 persen orang Jepang mendukung penutupan atau pengurangan jumlah pembangkit listrik nuklir. Ini menunjukkan adanya perubahan mindset orang Jepang yang dulunya sangat mendukung pembangunan PLTN. Bencana Fukushima yang menyebabkan 50.000 keluarga mengungsi dari daerah sekitar reator lantaran sebaran debu radioaktif yang menyusup ke air, udara, dan daratan itu menjadi “kampanye” buruk terhadap masa depan energi nuklir. Apalagi bila membaca tragedi meledaknya reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina, 25 tahun silam yang menewaskan ribuan orang. 

Tak hanya itu! Zat-zat radioisotop sebagai bahan baku energi nuklir juga rawan pencurian. Pada Desember  2013 lalu, ada “pencurian” radioisotop di Meksiko. Sebuah mobil yang mengangkut peralatan medis radioterapi yang memakai Cobalt-60 dirampok. Dan perampok itu membawa kabur peralatan medis yang berisi Cobalt-60 yang memancarkan sinar gamma tersebut. Apakah perampok itu tahu barang yang dicurinya amat berbahaya? Entahlah! Tapi satu hal yang mengkhawatirkan, bila perampok itu teroris dan kemudian  memanfaatkannya untuk membuat  “bom kotor” – maka kondisinya akan sangat membahayakan. Bayangkan jika teroris yang bisa merakit bom, lalu menyertakan radioistop itu dalam bom tersebut – maka ketika bom meledak, radioisotop yang memancarkan sinar gamma tersebut akan beterbangan dan mencemari daerah dengan radius beberapa kilometer. Akibatnya berapa ribu orang yang terpapar radiasi sinar gamma yang bisa memandulkan, menyebabkan kanker, dan merusak otak itu? Inilah yang mencemaskan dunia yang kini terancam aksi-aksi terorisme! Karena itu, dalam KTT Keamanan Nuklin  tersebut, akan dibahas bagaimana mengamankan bahan radioaktif dan mencegah penguasaan teknologi nuklir, khususnya yang berkaitan dengan pembuatan senjata nuklir, oleh teroris. Sebab, kata Presiden Barack Obama, negara-negara yang kini mempunyai PLTN, berpotensi untuk menjadi negara yang bisa membuat senjata nuklir. Yang jadi masalah, jika negara si sempunya PLTN itu dipimpin oleh seorang presiden yang berwatak teroris atau berasal dari oganisasi teroris, bukan tidak mungkin  penguasaan terhadap teknologi nuklir itu akan diarahkan kepada pembuatan senjata nuklir. Jika itu terjadi, dunia pun akan terancam oleh terorisme nuklir.

Pengembangan energi nuklir sejak Perang Dunia Kedua berakhir, 1945, memang amat dahsyat. Negara-negara maju berlomba-lomba mengembangkan senjata nuklir pembunuh missal yang efektif dan gigantik. Berbarengan dengan itu, pembangunan PLTN pun berkembang pesat. Sampai akhir abad 20, misalnya, negara-negara maju optimis  bahwa energi nuklir adalah alternatif terbaik untuk mengatasi krisis energi di dunia. Tapi sejak  munculnya berbagai bencana nuklir seperti di AS, Rusia, dan Jepang – optimisme itu mulai surut. Bahkan, kini negara-negara maju mulai “mengistirahatkan” satu persatu operasi reaktor nuklirnya.

Lalu, bagaimana mengatasi krisis energi mendatang? Jangan cemas: ada sumber energi bahari yang luar biasa besarnya.  Gelombang laut sepanjang pantai, misalnya, kini bisa dimafaatkan sebagai sumber energi alternatif yang aman. Biota laut seperti algae, juga bisa direkayasa untuk membuat bahan bakar organik (biofuel)  berkelanjutan yang terbarukan (renewable energy resources) yang tiada habisnya. Dan ini yang terpenting: aman, tak membahayakan manusia. 

Salah satu hal terpenting dari ekonomi energi algae – di samping mampu menyerap gas karbondioksida  secara signifikan sehingga mengurangi lajunya global warming – juga bisa diolah untuk bahan bakar (biofuel) yang ramah lingkungan. Penelitian dalam skala laboratorium di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) menunjukkan bahwa   algae di laut mampu tumbuh 20-25 kali lipat dalam 15 hari dengan makanan gas karbon. Ganggang dari jenis chaetoceros sp dengan jumlah sel awal 40.000  permilimeter kubik (permil), misalnya,  setelah diberi gas karbon tumbuh menjadi 780.000 sel permil dalam 15 hari. Bahkan chlorella sp dalam jumlah sel awal 40.000 permil menjadi satu juta sel  dalam 15 hari.

Apa yang bisa kita peroleh dari biota algae yang mudah berkembang ini? Di samping sebagai penyerap gas karbon yang efektif, algae juga bisa jadi bahan baku biofuel yang prosesnya memiliki efisiensi 40% lebih tinggi dibandingkan membuat biofuel dengan bahan baku minyak kelapa sawit. Secara teoritis, produksi biodiesel dari algae dapat menjadi solusi yang realistik untuk mengganti solar (minyak diesel). Hal ini karena tidak ada feedstock lain yang cukup memiliki banyak minyak sehingga mampu digunakan untuk memproduksi minyak dalam volume yang besar. Tumbuhan seperti kelapa sawit dan kacang-kacangan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk dapat menghasilkan minyak supaya dapat mengganti kebutuhan solar dalam suatu negara. Hal ini tidak realistik dan akan mengalami kendala apabila diimplementasikan pada negara dengan luas wilayah yang kecil. Amerika Serikat yang mencoba memproduksi biofuel untuk kebutuhan dalam negerinya dari jagung dan kedelai akhirnya menyerah karena lahan jagung dan kedelainya harus luas sekali dan secara ekonomis tidak efisien serta tidak menguntungkan. Tidak demikian halnya dengan algae.

Berdasarkan perhitungan, pengolahan algae pada lahan seluas 10 juta acre (1 acre = 0.4646 ha) mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti seluruh kebutuhan solar di Amerika Serikat (Oilgae.com, 26/12/2006). Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan yang sekarang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (sekitar 1 milliar acre). Diperkirakan algae mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya. Dari gambaran tersebut, algae sebagai sumber energi terbarukan akan menjadi primadona dalam mengembangkan potensi ekonomi bahari (Santoso, 2009).

Ke depan, ketika bahan bakar fosil yang nonrenewable seperti minyak bumi dan batubara habis, potensi “ladang algae” di pantai-pantai Indonesia yang amat luas bisa menjadi sumber bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Posisi geografi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa yang sangat baik untuk pertumbuhan algae  merupakan kekayaan alami yang luar biasa besar sehingga kelak bisa menjadi “ladang biofuel” yang menghasilkan bahan bakar yang murah dan bersih. Minyak Indonesia yang diperkirakan akan habis dalam 50 tahun lagi, akan bisa tergantikan dengan minyak yang berasal dari algae yang jumlahnya melimpah ruah. Lebih dari itu, biofuel dari algae bisa dikelola oleh rakyat di tingkat hulu, bahkan hilir  sehingga industri biofuel dari algae akan bisa menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan dan memeratakan distribusi ekonomi. Tidak seperti ladang minyak bumi sekarang yang  dikuasai korporasi-korporasi besar. Dengan demikiam, jika kita melihat krisis energi dengan visi bahari, maka akan ketemu jalan memproduksi energi yang murah, sederhana, aman, dan merakyat. Jika ini terjadi, kemiskinan yang menimpa masyarakat nelayan dan pesisir akan sirna. Bahkan Indonesia akan makmur karena swasembada energi terbarukan ini. Insya Allah!

BERITA TERKAIT

Keberhasilan Pemerintah Tangani Berbagai Isu Papua, Ciptakan Sinkronisasi Pusat dan Daerah

    Oleh: Veronica Lokbere, Mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta   Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan Presiden RI…

KTT WWF ke-10 di Bali Mampu Ciptakan Resolusi Kebijakan Tangani Isu Air

  Oleh: Miftah Prasetya, Pemerhati Lingkungan Univ.Negeri Semarang   Konferensi Tingkat Tinggi World Water Forum (KTT WWF) atau forum air…

Pembangunan IKN Pemicu Peningkatan Minat Investasi Asing di RI

  Oleh: Andika Pratama, Pengamat Ekonomi   Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, didorong oleh berbagai inisiatif pembangunan infrastruktur…

BERITA LAINNYA DI Opini

Keberhasilan Pemerintah Tangani Berbagai Isu Papua, Ciptakan Sinkronisasi Pusat dan Daerah

    Oleh: Veronica Lokbere, Mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta   Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan Presiden RI…

KTT WWF ke-10 di Bali Mampu Ciptakan Resolusi Kebijakan Tangani Isu Air

  Oleh: Miftah Prasetya, Pemerhati Lingkungan Univ.Negeri Semarang   Konferensi Tingkat Tinggi World Water Forum (KTT WWF) atau forum air…

Pembangunan IKN Pemicu Peningkatan Minat Investasi Asing di RI

  Oleh: Andika Pratama, Pengamat Ekonomi   Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, didorong oleh berbagai inisiatif pembangunan infrastruktur…