Tenggat Sudah di Depan Mata, Masalah Belum Tuntas - REALISASI BPJS KESEHATAN

NERACA

Jakarta - Jadwal realisasi penerapan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah di depan mata. Kalau dihitung mundur, waktunya tak lebih dari 10 bulan lagi. Namun beberapa masalah krusial belum lagi tuntas diselesaikan. Bahkan cenderung amburadul hingga perlu banyak perbaikan.

Paling tidak, pandangan itu datang dari pengamat asuransi sosial dari Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. Dia mengatakan bahwa BPJS Kesehatan harus melakukan banyak perbaikan. “Kalau persiapan administratif memang sudah cukup bagus. Yang brengsek adalah alokasi uang untuk penerima bantuan. Pemerintah maunya Rp 15.500/orang/bulan. Padahal untuk pelayanan kesehatan yang layak itu minimal Rp 22.200/orang/bulan. Itupun dengan catatan pemerintah menyediakan obat dan membayar gaji tenaga kesehatan,” jelas Hasbullah kepada Neraca, Kamis (7/3).

Sebetulnya, lanjut Hasbullah, harga pasar untuk jaminan kesehatan masih jauh lebih tinggi daripada itu, yaitu Rp 60 ribu/orang/bulan. “Brengsek kalau pemerintah hanya mengalokasikan Rp 15.500,” ujar dia.

Dengan data jumlah penduduk miskin dan hampir miskin mencapai 96 juta orang dan pengeluaran jaminan kesehatan untuk mereka sebesar Rp 22.200, maka pemerintah harus menyiapkan alokasi dana asuransi kesehatan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 26 triliun.

“Angka segitu kecil sekali dibandingkan subsidi BBM yang penyalurannya tidak tepat. Lebih baik subsidi BBM dicabut saja dan sebagian digunakan untuk membiayai kesehatan orang miskin dengan layak,” tandas Hasbullah.

Perhitungan lain, lanjut Hasbullah, adalah bahwa pendapatan cukai rokok Indonesia tahun 2012 adalah sebesar Rp 77 triliun. “Apalah artinya Rp 26 triliun untuk kesehatan masyarakat miskin dibandingkan pendapatan cukai tersebut,” kata dia.

Permasalahan yang paling berat memang fasilitas kesehatan untuk masyarakat miskin itu. Kalau untuk peserta BPJS yang mengiur, kata Hasbullah, memang tidak terlalu ada kendala. Karena iuran sudah ditetapkan sebesar 5% dari gaji dan tunjangan tetap, meskipun belum jelas pembagiannya antara pekerja dan pemberi kerja. Kalau gaji dan tunjangan tetap pegawainya Rp 1,5 juta, berarti iuran untuk BPJS-nya sebesar Rp 75 ribu. “Itu sudah di atas Rp 60 ribu, berarti sudah bisa mendapat pelayanan kesehatan yang layak,” kata Hasbullah.

Mengenai coverage BPJS Kesehatan (sekarang masih PT Askes) yang hanya 121 juta orang, Hasbullah mengatakan hal itu wajar. “Dalam UU SJSN memang disebutkan secara bertahap, tidak sekaligus. Memang tidak mungkin sekaligus,” kata dia.

Hal lain yang dikritisi Hasbullah adalah ketidakmerataan bantuan pemerintah. “Jangan maunya membenahi rumah sakit dan puskesmas pemerintah saja. Kasihlah insentif kepada rumah sakit swasta yang nirlaba. Berikanlah hibah alat-alat yang bagus, karena mereka nantinya juga akan dilibatkan dalam urusan BPJS Kesehatan,” jelas dia.

Jumlah rumah sakit nirlaba itu, imbuh Hasbullah, cukup banyak, yaitu 700 buah. Beberapa di antaranya adalah RS St Carolus, Muhammadiyah, dan RS Sumber Waras.

Bagi Sekretaris Jendral Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Said Iqbal, pemerintah memang belum siap melaksanakan program Jaminan Kesehatan untuk rakyat Indonesia karena transformasi yang tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah.

Dalam hitungan Said Iqbal, paling tidak ada empat transformasi yang harus dijalankan yaitu transformasi kepesertaan, transformasi aset atau kekayaan, transformasi program, dan transformasi infrastruktur. “Semua transformasi ini belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah sehingga BPJS pada tahun depan tidak dapat berjalan,” katanya.

Menurut Iqbal, saat ini jaminan sosial yang berlangsung masih diskriminatif, hanya orang tertentu saja yang mendapatkannya. Dia mencontohkan, jaminan kesehatan masyarakat hanya orang miskin yang bisa mengaksesnya, jaminan tenaga kerja hanya tenaga kerja formal yang bisa memperolehnya, dan jaminan kesehatan hanya PNS/TNI/Polri yang bisa menyentuhnya. “Bagaimana dengan pekerja informal yang menggunakan asuransi swasta dan tidak tersentuh dalam jaminan kesehatan ini. Oleh karena itru, diperlukan jaminan kesehatan, pensiun, kecelakan kerja, hari tua, dan kematian bagi semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali,” tegasnya.

Dia menjelaskan pemerintah terlihat belum siap untuk menjalankan program BPJS karena regulasi dalam jaminan sosial tidak dijalankan dengan benar. Untuk mewujudkan keadilan sosial hanyalah dengan satu jawaban yaitu jaminan sosial bagi seluruh rakyat. “Selama jaminan sosial yang diamanatkan UU No 40/2004 belum berjalan, keadilan sosial tidak akan pernah terwujud. Bagaimana program BPJS ini bisa berjalan tapi regulasinya tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, Iqbal juga menyoroti masalah pentahapan kepesertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes). UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS sudah sangat tegas menyatakan bahwa BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 untuk memberikan pelayanan Jamkes bagi seluruh rakyat Indonesia. “Adanya pentahapan dalam kepesertaan yang jadi suatu masalah yang akan terjadi di kemudian hari, makanya seharusnya tidak ada proses pentahapan itu karena sudah jelas disebutkan dalam UU bahwa jaminan kesehatan itu diperuntukkan kepada seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

GUBERNUR BI PERRY WARJIYO: - Bank Tidak Perlu Naikkan Suku Bunga Kredit

Jakarta-Meski suku bunga acuan (BI Rate) naik menjadi 6,25 persen, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengingatkan perbankan tidak perlu menaikkan…

Problem Iklim Usaha ke Pemerintahan Mendatang - APINDO BERI MASUKAN:

NERACA Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan masukan mengenai kondusivitas iklim usaha kepada pemerintahan mendatang. "Kalau yang kita perhatikan kebanyakan…

MIGRANT CARE MENILAI ATURAN BARU MEREPOTKAN - YLKI Pertanyakan Permendag No. 7/2024

Jakarta-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan alasan dibalik berubahnya peraturan yang dirilis Kementerian Perdagangan terkait barang bawaan Pekerja Migran Indonesia…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

GUBERNUR BI PERRY WARJIYO: - Bank Tidak Perlu Naikkan Suku Bunga Kredit

Jakarta-Meski suku bunga acuan (BI Rate) naik menjadi 6,25 persen, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengingatkan perbankan tidak perlu menaikkan…

Problem Iklim Usaha ke Pemerintahan Mendatang - APINDO BERI MASUKAN:

NERACA Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan masukan mengenai kondusivitas iklim usaha kepada pemerintahan mendatang. "Kalau yang kita perhatikan kebanyakan…

MIGRANT CARE MENILAI ATURAN BARU MEREPOTKAN - YLKI Pertanyakan Permendag No. 7/2024

Jakarta-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan alasan dibalik berubahnya peraturan yang dirilis Kementerian Perdagangan terkait barang bawaan Pekerja Migran Indonesia…