Nilai Rp25,8 Triliun Bukan Setoran ke IMF

Nilai Rp25,8 Triliun Bukan Setoran ke IMF

NERACA

Jakarta - Pemerintah melakukan penyelesaian atas revaluasi modal di Dana Moneter Internasional (IMF) dengan posisi jumlah akumulasi surat janji bayar (promissory note/PN) sebesar Rp25,8 triliun dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 30 Juni 2012. Wakil Menteri Keuangan II Mahendra Siregar menegaskan, bahwa nilai tersebut yang berada di LKPP bukan setoran Indonesia kepada IMF.

“Jadi yang dimaksud pencatatan di LKPP, itu adalah posisi, katakanlah klaim atau modal Indonesia di IMF selama ini. Jadi bukan hanya terjadi di semester I, tapi selama ini outstanding-nya,” jelasnya, Kamis (20/12).  Nilai PN sebesar Rp25,8 triliun tersebut juga dibarengi dengan tambahan modal Indonesia di IMF sejumlah yang sama, sehingga secara netto tidak ada pengaliran keluar (outflow).

Pencatatan di LKPP ini sendiri, menurut dia, telah sesuai dengan permintaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  “Ini bagian dari good governance dan transparansi, sehingga pertanggungjawaban dan posisi pembukuan keuangan pemerintah itu tepat,” katanya.

Terkait dengan PN, Indonesia menerbitkan tambahan PN senilai selisih depresiasi terhadap mata uang khusus IMF (Special Drawing Rights/SDR) karena secara berkala (per April) modal dalam rupiah yang senilai PN tersebut disesuaikan dengan kurs SDR.

Sebaliknya, jika mengalami apresiasi terhadap SDR, sebagian PN senilai jumlah apresiasi tersebut akan ditarik oleh pemerintah dan disimpan oleh Bank Indonesia sehingga tidak ada proses penyetoran kepada IMF seperti dalam pemberitaan itu.

Berdasarkan pernyataan dalam Anggaran Dasar (Article of Agreement) IMF, pelunasan kuota atau modal oleh negara anggota IMF dilakukan dalam bentuk pembayaran 25% saham dengan SDR dan 75% saham pelunasan wajib dengan bentuk PN sesuai mata uang negara setempat.

Reformasi Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya berhasil memperjuangkan reformasi di IMF sehingga secara menyeluruh kuota dari seluruh negara berkembang naik menjadi 44%. Sedangkan kuota dari negara-negara maju, khususnya Eropa, turun menjadi 56%.

Oleh karena itu, Indonesia dengan negara berkembang lainnya akan terus memperjuangkan reformasi IMF tersebut agar makin berimbang dan lebih adil bagi kepentingan masing-masing.

Bukan seperti waktu lalu, IMF kurang memperhatikan kepentingan negara-negara berkembang tersebut. “Kita untuk berikutnya memperjuangkan supaya 50-50 sehingga suara negara berkembang akan diperhitungkan dalam IMF. Karena selama ini, kebijakan IMF banyak tidak sesuai dengan persepktif negara berkembang,” pungkas Mahendra.

 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…