Kajian IMF Tak Perlu Direspon Berlebihan

Kajian IMF Tak Perlu Direspon Berlebihan   

 Jakarta - Pemerintah menilai peringatan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) terkait indikasi gejala overheating ekonomi (kepanasan) belum perlu direspon secara tergesa-gesa. Alasannya indikator yang digunakan IMF dalam menentukan indikasi tersebut tidak tepat. "Perekonomian Indonesia dinilai tumbuh terlalu cepat, karena IMF membandingkannya dengan periode sebelum krisis global terakhir antara 2002-2007," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Eddy Putra Irawadi kepada wartawan di Bandung, (17/4).

Menurut Eddy, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1% dalam periode tersebut. Karena itu perhitungan IMF tidak cukup untuk mengurangi angka penganguran secara berkesinambungan. Yang jelas indikator yang digunakan IMF tidaklah benar. Masalahnya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia tak secepat yang diperkirakan.

Seperti diketahui laporan World Economic Outlook yang dirilis IMF menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia termasuk ekonomi yang dianggap mulai overheating dengan indikator pertumbuhan Indonesia yang dianggap terlalu cepat, angka pengangguran yang dianggap terlalu rendah, dan inflasi yang tinggi.

Lebih jauh kata Eddy, selama periode 2002-2007 perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak krisis tahun 1997-1998. Potensi pertumbuhan sebenarnya lebih tepat digambarkan olah laju pertumbuhan tahun 1986-1996, yaitu di sekitar 6,8%.  "Saat ini ekonomi kita masih tumbuh di bawah  6,8%. Jadi, belum kepanasan," ujarnya.

Oleh karena itulah Eddy berani membantah kajian IMF yang menyebutkan angka pengangguran yang rendah.  “Padahal tingkat pengangguran yang terlalu rendah dapat menunjukkan ekonomi sudah tumbuh terlalu cepat. Disitu IMF memakai rata-rata 2002-2007 sebagai acuan,” tambahnya.

Padahal pada periode itu tingkat pengangguran Indonesia bukan keadaan yang nomal dan cenderung naik, karena ekonomi kita belum pulih sepenuhnya dari dampak krisis 97/98. Rata-rata tingkat pengangguran 2002-2007 sekitar 9,8 %, yang terlalu tinggi bila dipakai sebagai acuan. "Tingkat pengangguran dapat diturunkan ke kisaran 5-6% tanpa memicu inflasi yang berlebihan, misalnya karena permintaan kenaikan gaji," jelasnya.

Lebih jauh Eddy mengungkapkan anggarapan IMF terkait inflasi Indonesia yang di atas 6% yang dianggap IMF sebagai tanda ekonomi Indonesia kepanasan karena sisi suplai (manufaktur) tidak dapat mengimbangi kenaikan permintaan merupakan pandangan yang tidak akurat.

Pasalnya, inflasi jangka panjang saat ini memang di kisaran 6%, tetapi bukan berarti menunjukkan ekonomi yang kepanasan. Kenaikan inflasi tersebut, lanjut Eddy, terutama disebabkan kenaikan harga pangan karena perubahan iklim yang ekstrim. Selain itu, inflasi non-food masih relatif terkendali, di kisaran 4%. Level ini pun masih di kisaran trend jangka panjang. "Jadi bukan karena manufakturing kita tidak dapat mengimbangi kenaikan permintaan," tegasnya.

Dari data-data tersebut, lanjut Eddy, menunjukkan ekonomi Indonesia masih jauh dari kepanasan. "Ada beberapa pendekatan IMF yang misleading.  Kita tetap harus mewaspadai klaim IMF, namun kita tidak perlu panik," tegasnya.

Untuk itu, Eddy menyatakan pemerinta Indonesia tetap akan menjalankan kebijakan untuk menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, agar angka kemiskinan dan angka pengangguran dapat terus dikurangi.  "Yang lebih penting lagi, agar hasil pembangunan dapat dirasakan oleh masyarakat dengan lebih merata lagi," katanya.

Selain itu, Eddy menilai tekanan inflasi tetap harus diwaspadai. Harga minyak dunia dan pangan menimbulkan ancaman tersendiri terhadap inflasi dalam negeri. "Indonesia harus menurunkan trend inflasi jangka panjang yang ada. Untuk itu, perlu dukungan infrastruktur transprotasi yang baik, yang harus juga didukung oleh program untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri dan peningkatan produksi sumber energi atau diversiffikasi dalam negeri," tandasnya. **cahyo

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…