Jatuhnya Benteng Maritim

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Organisasi Maritim Internasional, IMO, menutup kantornya dan menunda pembahasan sejumlah agenda yang telah dirancang sebelumnya di tengah makin merebaknya wabah virus corona yang sekarang dikenal dengan istilah Covid-19. Bagi penulis ini menggelikan. Tetapi, seorang teman mengingatkan melalui media sosial, langkah organisasi yang bermarkas di London, Inggris, itu sepertinya bentuk dukungan menyahuti himbauan dari sesama badan PBB yang lain, WHO, agar kantor-kantor ditutup sementara demi mengerem laju virus mematikan itu.

Baiklah kalau begitu. Kendati demikian, tetap saja apa yang dilakukan oleh IMO tadi menarik dikomentari. Pasalnya, organisasi ini getol sekali mengimbau semua negara anggotanya untuk tetap memfasilitasi pergerakan kapal dan operasi pelabuhan tidak ditutup. Eh, mereka malah menutup kantor. Fakta ini penulis istilahkan dengan “jatuhnya benteng maritim”. IMO sejatinya benteng maritim mondial di mana keselamatan dan keamanan pelayaran diatur dengan ketat melalui konvensi.

Sebetulnya, imbauan dimaksud sudah betul karena transportasi laut (baca: kapal) dari zaman dahulu sudah memiliki segudang prosedur dan langkah untuk menekan penyebaran pandemi yang melibatkan atau terkait dengan kapal. Sayang, fakta di lapangan menunjukkan situasi yang sedikit berbeda. Kapal, terutama kapal pesiar atau cruise ship, menjadi salah satu tempat penyebaran virus covid-19.

Memang, kapal pesiar Diamond Princess tidak menyimpan atau menjadi sarang virus mengerikan itu. Ia dibawa oleh penumpang yang sudah terjangkit yang kemudian naik ke atas kapal. Lingkungan kapal yang terbatas dengan jumlah penumpang yang besar menjadi pemicu virus corona berkembang dan selanjutnya kita semua tahu ceritanya.

Di dalam negeri, benteng maritim kita juga jatuh seiring dengan dinyatakannya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif terkena virus corona oleh Istana. Di tangan Menhub-lah aspek keselamatan pelayaran nasional dikendalikan. Kita tentu saja sedih oleh kejadian ini. Namun, kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Yaitu, budaya keselamatan (safety culture) masih harus terus ditanamkan ke dalam sanubari masyarakat Indonesia. Apapun tingkatan statusnya.

Tak lama lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan dan selanjutnya masa libur Idul Fitri. Adanya virus corona besar membuat pergerakan manusia dari kota ke kampung itu akan berubah. Arus mudik sepertinya tidak akan ramai. Malah, bisa jadi tahun ini tidak ada ritual tersebut.

Apapun situasinya, alat-alat transportasi harus tetap selamat. Kali ini tidak hanya dengan parameter standar keselamatan yang ada. Bersih dari virus corona mesti pula dimasukan sebagai kriteria safe public transportation. Semoga.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…