Milenialisme Menjadi Segalanya

 

Oleh: Erros Djarot, Budayawan

Belakangan ini kata ‘milenial’ sangat akrab di telinga kita. Dari masyarakat biasa hingga presiden, begitu gemar memuliakan kata ‘milenial’. Demi memuliakan generasi milenial, segala upaya dilakukan. Termasuk menyederhanakan segala sesuatu yang dianggap terlalu berat dan sulit dimengerti oleh generasi milenial. Pendek kata dari dunia etika hingga estetika, baik norm dan form-nya, semua di’reformasi ’ untuk memenuhi selera dan logika sederhana kaum milenial.

Hebatnya, sampai upaya agar Dasar Negara dan tujuan berbangsa dan bernegara pun disederhanakan sedemikian rupa agar mudah dikunyah oleh selera dan nalar milenial. Sehingga seringkali substansi dinomor-duakan. Karena yang penting mudah ditangkap dan diterima oleh pola pikir dan logika milenial yang serba sederhana. Kerja yang bertumpu pada tujuan...’yang penting bisa diterima’ oleh generasi milenial inilah, maka  segala sesuatu yang bersifat klasik, penuh detail yang memerlukan ekstra konsentrasi maupun pikiran, menjadi tak penting lagi. Bahkan terancam punah menjadi suatu keniscayaan yang mulai terasakan.

Peristiwa yang belakangan terjadi dan bisa dijadikan salah satu kajian adalah munculnya pro-kontra tentang karya sastra yang begitu luarbiasa indah dan kharismatik ‘BUMI MANUSIA’ diangkat ke layar lebar lewat pendekatan selera milenial. Seluruh tampilan dan pengadegan dalam setiap scene sungguh merupakan karya yang dipersembahkan untuk kepentingan pasar dan atas nama selera milenial yang akrab dengan tuntutan pasar. Maka karya satra yang begitu dahsyat direduksi menjadi sajian serba ringan dan pop. Tapi toh banyak juga yang menyukai dan tak peduli dengan apa siapa Pramoedya Ananta Toer bagi Indonesia, khususnya dunia sastra.

Dan ketika secara lebih dalam mengamati perkembangan histeria milenial yang terjadi di masyarakat kita akhir-akhir ini, ternyata meluasnya histeria ini bukan sesuatu yang datang begitu saja karena perkembangan zaman. Bila lebih jauh dicermati, perluasan histeria milenial ini erat hubungannya dengan kepentingan pasar. Hal yang tentunya menjadi sesuatu yang diperlukan oleh para produsen yang memerlukan perlebaran pasar bagi hasil produksinya. Kaum kapitalis global sangat berkepentingan menjadikan negara-negara seperti Indonesia yang digolongkan sebagai ‘potential market’, menjadi tempat (surga) bagi pelemparan produk-produk mereka.

Oleh karenanya, selera yang bermuara pada etika dan estetika yang sesuai dengan kebutuhan pasar mereka, menjadi target utama gerakan pelebaran pasar mereka. Serba pragmatis, tak perlu berpikir dalam, dan menyenangkan seketika (hedonis), menjadi keharusan untuk dijadikan budaya keseharian kehidupan masyarakat yang ditarget sebagai ‘pelanggan setia’. Untuk melenggangkan tujuan ini, masyarakat dijauhkan dari keinginan mengetahui proses yang berlanjut dengan cuek sejarah dan kesejarahan dari setiap peristiwa maupun keberadaan sesuatu.

Itulah sebabnya mengapa keotentikan sesuatu menjadi tak penting. Karena yang penting selera pasar terpenuhi dan laku dijual. Baik dalam bentuk barang maupun produk aturan dan pemikiran, semuanya mengacu pada etos yang sama. Sehingga seringkali, terbentang lebar antara apa yang seharusnya hadir sebagaimana amanat berdasarkan kesejarahannya, dengan yang terjadi dan dihadirkan lewat mesin politik-ekonominya penguasa pasar milenial.

Bahwasanya milenial sebagai terminologi pengelompokan generasi berdasarkan tahun kelahiran berikut perkembangan dan kemajuan teknologi yang menyertainya adalah suatu keniscayaan, saya setuju dan pasti menerimanya. Sementara milenialisme adalah paham dari  para pengelola pasar global (kaum kapitalis) yang menunggangi kata ‘milenial’untuk kepentingan memperluas dan memperlebar jangkauan pasar mereka. Ini yang perlu kita waspadai!

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…