Polarisasi Semakin Terasa

 

 

Oleh: Ambara Purusottama

School of Business and Economic

Universitas Prasetiya Mulya

 

Ketidakpastian global salah satunya disebabkan oleh polarisasi yang semakin menjadi oleh negara-negara maju. Situasi ini kembali mengingatkan pada situasi perang dingin ketika kedua negara super power pada saat itu saling unjuk gigi untuk menjadi penguasa tunggal. Pada saat itu ketegangan dimenangkan oleh AS yang ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet hingga terpecah menjadi beberapa negara. Tampaknya hal tersebut mulai dirasakan kembali namun dengan peserta yang sedikit berbeda dimana AS tetap menjadi salah satunya. China dan Inggris mampu menarik mata dunia dengan pola tingkahnya yang seakan ingin menunjukkan bahwa mereka juga patut diperhitungkan.

Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS menggantikan Barrack Obama menghembuskan angin agresif namun proteksionis. Proteksionis Trump sangat kental ketika ingin membangun batas antara AS dengan negara tetangganya yang dianggap tidak setingkat dengan AS. Alasan melindungi warga AS menjadi kampanye yang sering didengungkan oleh Trump. Tidak berhenti sampai disitu, AS kembali berulah dengan menerapkan kebijakan memulangkan perusahaan-perusahaan asal AS yang memiliki fasilitas di luar AS. Hal tersebut dilakukan untuk membuat ekonomi AS kembali Berjaya. Padahal pindahnya fasilitas perusahaan-perusahaan dari AS karena di AS sendiri tidak lagi kompetitif, tenaga kerja yang mahal dan mendekatkan fasilitas produksi dengan tujuan pasarnya saat ini.

Belum lama ini, AS kembali melancarkan agresinya dengan menerapkan perang dagang ke beberapa negara yang dirasakan mengancam keberlangsungan ekonominya, terutama China. AS menerapkan tarif yang lebih tinggi terhadap barang impor dari China. Sebab utama penerapan perang dagang ini adalah defisit neraca perdagangan AS yang terus memburuk. Ketegangan AS dengan China yang semakin menjadi tentu saja berdampak pada lesunya perdagangan kedua negara. Tidak hanya itu, kelesuan ini berimbas ke perekonomian dunia lainnya. Implikasi dari ketegangan antar kedua negara ini membuat IMF terpaksa mengubah proyeksi pertumbuhan dunia menjadi lebih rendah dari sebelumnya. Menurut IMF jika ketegangan dagang AS-China tidak segera disudahi maka pemotongan pertumbuhan bisa lebih besar lagi.

China sebagai salah satu ekonomi terkuat saat ini memiliki polah tingkah yang tidak berbeda dengan lawan perang dagang terbesarnya, AS. Konflik Laut China Selatan menjadi buktinya dimana China secara perlahan terus meningkatkan aktivitas militernya di Kawasan ini. Jepang dan Korea Selatan sebagai sekutu AS, merasa terganggu dengan tingkah China yang semakin menjadi. Perilaku China tersebut seolah ingin mengingatkan bahwa mereka patut diperhitungkan bukan lagi sebagai anak bawang yang selalu berada dibawah bayang-bayang Jepang dan Korea Selatan yang lebih dahulu maju. Sengketa di kawasan tersebut belum juga berkesudahan dimana aksi saling tuduh dan hak memiliki pun terus berlanjut. Para sekutu negara yang sedang bersengketa pun ikut-ikutan memanaskan situasi.

Dualisme pandangan pasca Brexit (British Exit) dari Uni Eropa hingga kini masih menjadi berita panas dunia. Perdana Menteri, Theresa May, masih ingin menyakinkan bahwa Inggris meskipun keluar dari Uni Eropa tetap mengharapkan kesepakatan yang menguntungkan khususnya dibidang ekonomi. Parlemen Inggris masih mementahkan kesepakatan usulan May yang akan diajukan kepada Uni Eropa. Inggris diberikan waktu hingga pertengahan April guna mengajukan kesepakatan karena jika tidak Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa membawa apapun. Referendum yang menghasilkan Inggris keluar terjadi karena banyak masyarakat Inggris menilai negaranya tidak mendapatkan manfaat dengan bergabung ke perkumpulan negara-negara Eropa. Rakyat Inggris beraliran konservatif menilai perkumpulan tersebut justru malah membawa Inggris ke jurang kerugian karena harus menutupi borok ekonomi Eropa.

BERITA TERKAIT

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

BERITA LAINNYA DI

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…