Relaksasi Daftar Negatif Investasi Belum Efektif

 

NERACA

 

Jakarta - Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dilakukan pemerintah belm efektif tanpa upaya untuk menahan repatriasi modal keluar dari Indonesia. Yanuar dalam pernyataan menyatakan tanpa adanya aturan untuk menahan aliran dana keluar, maka defisit neraca transaksi berjalan belum akan membaik, dan investasi masuk malah menambah tekanan.

Ia mencontohkan relaksasi DNI di sektor jasa, salah satunya untuk jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) asing, bisa menambah masalah pada neraca jasa, karena keuntungan yang dihasilkan bisa saja dilarikan keluar dari Indonesia. "Bila ada asing yang mau masuk untuk bikin kantor di sektor jasa, misalnya harus setor dana Rp10 miliar, paling itu saja masuk untuk modal disetor. Tapi setelah itu mereka bebas membawa hasil keuntungannya keluar karena tidak ada yang mengatur," katanya, seperti dikutip kemarin.

Untuk itu, Yanuar mengharapkan pemerintah menyempurnakan relaksasi DNI tersebut, salah satunya dengan menerbitkan peraturan guna menahan modal tersebut tetap di Indonesia dan tidak dilarikan keluar negeri agar defisit neraca jasa tidak melebar. Hal serupa juga diungkapkan Peneliti Indef Bhima Yudhistira yang melihat relaksasi DNI untuk 25 bidang usaha yang dibuka sepenuhnya untuk asing dapat membuat pertumbuhan ekonomi semakin tidak inklusif dan menganggu neraca pembayaran. "Jika ada profit pun akan ditransfer ke negara induknya. Ini yang membuat neraca pembayaran terus mengalami tekanan," katanya.

Neraca transaksi berjalan merupakan parameter fundamental ekonomi domestik yang merekam arus perdagangan barang dan jasa dari Indonesia ke mancanegara dan sebaliknya serta keluar masuk arus devisa. Namun, saat ini, neraca transaksi berjalan mengalami pelebaran defisit karena tingginya defisit neraca perdagangan dan jasa, meski neraca pembayaran masih mengalami surplus.

Pemerintah sudah melakukan pekerjaan rumah untuk mengatasi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dengan menerbitkan sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS). Sistem "Online Single Submission" ini menyederhanakan proses perizinan di satu tempat, untuk mengundang minat pelaku usaha berinvestasi dalam industri berbasis ekspor maupun subtitusi impor.

Pemerintah ikut mewajibkan penggunaan bahan bakar berbasis sawit atau biodiesel (B20) untuk mengurangi impor migas terutama solar yang selama ini menjadi penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan. Untuk mengurangi impor bahan konsumsi, pemerintah juga menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor pasal 22 terhadap 1.147 kode HS barang agar penggunaan barang dalam negeri meningkat.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid XVI pada pertengahan November 2018 yang isinya memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan (tax holiday), relaksasi DNI dan meningkatkan Devisa Hasil Ekspor khususnya dari hasil sumber daya alam.

Dalam kesempatan sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Strategis menolak relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) di sektor industri strategis, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta energi dan sumber daya mineral (ESDM). Mereka menilai, selama ini investasi di sektor tersebut sudah sangat liberal.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adi Wuryanto, menilai, 100% kepemilikan modal asing di sektor industri strategis akan mengancam kedaulatan bangsa. Liberalisasi sektor tersebut juga melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. "Saat ini kepemilikan asing di sektor TIK diperbolehkan mencapai 67% dan energi 49%. Itu saja sudah terlalu longgar," katanya.

Ia menilai, seharusnya pemerintah justru memperketat kebijakan PMA di sektor tersebut, bukan sebaliknya. Dengan demikian, anak negeri bisa menjadi tuan rumah dan pemilik mayoritas saham industri strategis di tanahnya sendiri. “Kita harus ingat bahwa telekomunikasi dan energi adalah cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak," ujarnya.

Hal itu sesuai dengan Undang-Undang (UU) Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Implikasinya, menurut Wisnu, pemerintah harus memegang kendali atas arah perkembangan dan kepemilikan di sektor tersebut. "Jelas ini merupakan amanah Pasal 33 UUD Tahun 1945," katanya.

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…