Dana Kelurahan = Dana Desa?

Kita tentu merasa prihatin dengan rencana pemerintah menggelontorkan dana untuk kelurahan sebesar Rp3 triliun pada awal 2019. Pasalnya, kondisi APBN saat ini sedang memprihatinkan di tengah ancaman defisit anggaran yang terus menerus terjadi setiap tahun anggaran. Apalagi dasar legalitas “Dana Kelurahan” belum ada payung hukumnya dalam nomenklatur anggaran negara .

Pemerintah pusat seharusnya tidak otomatis menerima usulan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) saat bertemu dengan Presiden Jokowi pada Juli 2018. Herannya lagi, Kementerian Keuangan langsung siap mengeksekusinya dalam RAPBN 2019, sesuai dengan mekanisme anggaran, dana kelurahan dimasukkan ke Dana Alokasi Umum (DAU). Sumbernya adalah pemotongan Rp73 triliun Dana Desa. Jika alokasi ini disetujui DPR dan dibagi rata untuk 8.430 kelurahan, maka setiap lurah akan mendapat jatah Rp 355 juta.

Meski mekanisme pencairan dana ini terkesan legal, persoalan ini sangat problematik. Pasalnya, lurah sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, bukan sebagai kuasa pengguna anggaran. Berbeda dengan kepala desa yang dipilih langsung masyarakat, anggaran membangun desa dikelola mandiri bersama Badan Perwakilan Desa. Karena itu, menggelontorkan dana langsung ke para lurah rawan penyelewengan dalam bentuk tindak pidana korupsi.

Lihat saja berbagai kasus Dana Desa yang sudah lengkap aturannya ternyata sebagian dapat diselewengkan. Sepanjang 2015-2017, setidaknya terjadi 51 kasus penyalahgunaan, 32 penggelapan, dan 17 laporan fiktif. Kepala daerah juga bertingkah memperlambat pencairan anggaran tersebut untuk menekan kepala desa agar ikut mendukung dalam pemilihan kepala daerah.

Bukan tidak mungkin modus seperti itu akan terjadi lagi dalam penyaluran dana kelurahan. Bisa saja para kepala daerah, yang secara politis sudah menyatakan mendukung calon tertentu, setidaknya akan meniru cara yang sama untuk memenangkan kandidatnya dalam pemilihan presiden.

Karena itu, pemerintah pusatnya sebaiknya tidak terburu-buru mengabulkan aspirasi para wali kota. Alasan mereka bahwa dana itu dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan, tidaklah masuk akal. Justru seharusnya tanggung jawab para wali kota untuk menyelesaikan semua masalah itu dengan mengefektifkan anggaran daerah yang sudah ada.

Presiden Jokowi, yang sempat melontarkan kata “sontoloyo” gara-gara dikritik soal dana kelurahan, semestinya mengutamakan tata kelola pemerintahan yang baik. Presiden perlu berhati-hati dalam menggunakan anggaran negara. Pemerintah dan DPR bisa merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah sehingga memungkinkan kelurahan mengelola dana sendiri. Cara lain, Kepala Negara dapat menerbitkan Inpres yang intinya untuk memperkuat posisi kelurahan.

Dalam sidang paripurna DPR (31/10), mereka menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) menjadi APBN dengan pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 2.165,1 triliun dan anggaran belanja Rp 2.461,1 triliun. Dengan demikian defisit anggaran tahun depan sebesar Rp 296 triliun atau setara 1,84% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran tahun 2019 tersebut memang lebih rendah dibandingkan outlook tahun 2018 sebesar 2,12% terhadap PDB atau Rp314,2 triliun.

Kita jangan sampai terjebak pada permainan politik jor-joran di tengah ancaman krisis ekonomi. Dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali belum lama ini misalnya, kegiatan internasional itu didukung anggaran yang cukup besar. Setidaknya, menurut data pemerintah, anggaran negara yang dialokasikan untuk pertemuan ini mencapai Rp855,5 miliar yang berasal dari anggaran 2017 Rp45.415.890.000 dan anggaran 2018 sebesar Rp810.174.102.550.

Tak semua uang sebanyak itu berasal dari APBN. Sebesar Rp137 miliar adalah kontribusi dari Bank Indonesia. Sisanya, Rp672,59 miliar, dari saku Kemenkeu (APBN). Pagu yang ditetapkan BI berkurang setelah pada Agustus 2018 ada rencana mengalokasikan hingga Rp243 miliar. Nah, pertemuan skala internasional tersebut dengan Indonesia sebagai tuan rumah tak hanya berhenti di Bali (Oktober 2018), tetapi akan terus berlanjut hingga September tahun 2019, menurut informasi dari laman https://www.allconferencealert.com, tercatat Indonesia akan kembali tuan rumah dalam berbagai event internasional yang umumnya diadakan di Bali dan Jakarta.  Ingat, kita harus berhemat anggaran negara demi menekan defisit anggaran tak melampaui 3% dari PDB.

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…