Petani Kasih Catatan Soal Data Beras BPS

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Diskusi seputar data produksi beras Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode baru Kerangka Sampling Area (KSA), terus bergulir. Pendapat pemerhati maupun praktisi terbelah. Sebagian mengapresiasi langkah berani Pemerintah yang berbesar hati melakukan koreksi terhadap data pangan. Sebagian menolak mentah-mentah. 

Bagi Ketua Umum Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir, ia dapat menerima dengan catatan rilis data pangan BPS. “Rilis data yang disampaikan pemerintah mengenai luas lahan, luas panen dan lain-lain, okelah kita terima semuanya, memang BPS kan dilindungi Undang-undang dibiayai negara. Tapi BPS kan hanya merilis cuma tahun 2018 surplus 2,85 juta ton beras. Untuk 2017 kan nggak dirilis berapa surplusnya, 2016 juga nggak”, ujar Winarno, seperti dikutip Akhir pekan kemarin.

Ia memberi catatan bahwa, karena menggunakan teknologi pencitraan, metode KSA BPS tidak bisa menjangkau stok beras yang ada di dalam rumah milik keluarga petani maupun masyarakat lainnya. Sementara pria kelahiran Indramayu - Jawa Barat ini mengingat, bahwa Sucofindo pernah melakukan survei mengenai stok beras di tahun 2017. Kala itu hasil survei menyebutkan ada stok beras sebanyak 5,6 juta ton di 15 juta Kepala Keluarga Petani. Ditambah dengan yang ada di masyarakat totalnya menjadi 8,1 juta ton.

Berdasarkan data di atas, sosok yang memimpin 20 juta lebih Keluarga Petani di Tanah Air ini menjelaskan bahwa ternyata ada potensi 8,1 juta ton beras di masyarakat. Dan dalam rilis BPS memang tidak ada data ini. Maka Winarno menegaskan KTNA juga menggunakan hasil survey Sucofindo untuk menyempurnakan data BPS.

“Sebetulnya kalau rilis BPS surplus 2,85 juta ton beras tahun 2018, ditambah dengan stok yang ada di masyarakat 8,1 juta ton hasil survey Sucofindo baru benar. Saya kira nggak akan jauh berbeda antara data BPS metode KSA dengan metode yang lama. Data itu tidak bisa berdiri sendiri di tahun 2018 saja. Kita ambil 2017 saja yang ada datanya dari Sucofindo. Datanya ada, bisa ditampilkan tidak ngarang tidak mengada-ada”, jelasnya.

Mengenai penyesuaian data, Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementan I Ketut Kariyasa menyampaikan bahwa BPS perlu segera melakukan backcasting data, baik untuk data luas panen maupun produksi padi. Dengan kata lain, melakukan peramalan mundur dengan menggunakan hasil hasil dari metode KSA tahun 2018 sebagai basis peramalan pada tahun tahun sebelumnya.

Menurut Kariyasa hal ini penting dilakukan agar semua data yang ada dari dulu sampai sekarang yang sudah dihitung menggunakan metode atau pendekatan yang sama, agar bisa digunakan dengan baik untuk keperluan analisis selanjutnya.

Ia mencontohkan, untuk melihat kinerja perkembangan dan analisis produksi padi dari tahun ke tahun, tanpa melakukan backcasting data terlebih dulu akan tidak relevan untuk dilakukan karena hasil analisisnya akan tidak tepat menggambarkan kondisi yang riil di lapangan. Dan kalau hasil analisis ini digunakan dapat menyebabkan kebijakan dan program pembangunan pertanian menjadi tidak tepat.

“Orang akan bertanya-tanya ada apa pada tahun 2018, sehingga luas panen dan produksi jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Padahal tidak ada apa-apa, hal itu semata-mata disebabkan oleh karena adanya perbedaan pendekatan yang digunakan dalam perhitungan luas panen dan produksi padi/ beras, yaitu sebelum tahun 2018 menggunakan metode lama, dan pada tahun 2018 menggunakan metode KSA”, jelasnya.

Selain itu yang perlu diperhatikan, lanjut Kariyasa, bagaimana dengan informasi yang sudah dipublikasikan. Sebagai contoh, 6 bulan yang lalu dalam Rice Market Monitor (Volume XXI ISSUE No.1, April 2018) FAO mengestimasi produksi padi di Indonesia tahun 2017 sekitar 73,9 ton GKG dan pada tahun 2018 mencapai 74,5 juta ton GKG. Sementara hasil perhitungan metode KSA BPS, produksi padi Indonesia 2018 hanya 56,54 juta ton GKG.

“Apakah FAO akan melakukan koreksi terhadap data tersebut. Kalaupun FAO melakukannya, tanpa tersedianya data-data yang terkoreksi (di backcasting) tahun-tahun sebelumya, hal itu akan menghasilkan analisis yang menyesatkan, karena otomatis data produksi padi tahun 2018 akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal dengan tersedianya data backcasting tahun 2017, akan masih menghasilkan analisis yang sama dimana produksi padi tahun 2018 lebih tinggi dari tahun 2017,” katanya.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…