Ikhtiar Meredam Bencana

Oleh: Virna P. Setyorini

Benar bahwa belum ada yang mampu memprediksi gempa dan tsunami. Bahkan ilmuwan terpintar atau teknologi tercanggih di jagad raya belum ada yang mampu memastikan jam berapa, hari apa, di mana, berapa besar gempa akan terjadi, di kedalaman berapa hiposentrum gempa akan terjadi.

Ini hal pertama yang harus masyarakat pahami soal gempa dan tsunami, sehingga tidak perlu lagi terpapar informasi hoax yang kerap kali dihembuskan orang tidak bertanggung jawab melalui media sosial untuk meresahkan warga yang sedang terkena musibah.

Apa yang dilakukan para ilmuwan dan ahli sejauh ini hanya mempelajari jejak-jejak kegempaan dan tsunami dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin di mana gempa pernah terjadi, kapan gempa tersebut terjadi, bagaimana dampak gempa terhadap bangunan, bagaimana dampak gempa terhadap lempeng bumi, bagaimana gempa dapat memicu tsunami, termasuk bagaimana masyarakat yang selamat dari bencana tersebut.

Dari informasi yang terkumpul tersebut para ahli mempelajari di mana saja energi yang sudah dan belum terlepas di sepanjang lempeng dan sesar. Mereka hanya menganjurkan agar kewaspadaan terhadap bencana diperkuat di lokasi di mana lempeng atau sesar aktif yang energinya belum terlepas oleh gempa.

Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, bahwa wilayah Indonesia memang aktif dan kompleks dalam hal gempa. Dari data sumber gempa berdasarkan lempeng saja ada enam zona seduksi atau guncangan lempeng dari Sabang hingga Merauke.

Itu masih dirinci lagi menjadi segmen-segmen megathrust yang jumlahnya ada 16. Sedangkan untuk sesar aktif berdasarkan revisi peta gempa itu sudah terindentifikasi ada 295 sesar aktif di Indonesia, ujar Daryono.

Yang menjadi persoalan adalah terkadang para ahli atau ilmuwan belum memiliki data dan informasi sejarah kegempaan lengkap di setiap lempeng dan sesar yang ada di Indonesia. Terkadang belum ada catatan sejarah kegempaan di satu lokasi, sehingga butuh waktu dan biaya riset yang tidak sedikit untuk mengungkap kondisi sesar-sesar yang ada di Indonesia.

Sehingga, kembali lagi perlu ditegaskan, belum ada yang mampu secara pasti memperkirakan kapan, di mana, berapa besar gempa dan tsunami akan terjadi.

Sehingga akhirnya, masyarakat yang memang hidup di Lingkar Api Pasifik (daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik) seperti Indonesia ini harus memiliki sikap dan budaya sadar bencana.

Menghadang Tsunami

Tsunami biasanya datang setelah gempa besar yang berpusat di laut, yang bersumber dari pergeseran vertikal lempeng maupun sesar. Namun ternyata bencana ini juga datang dengan cara tidak biasa, seperti yang baru saja menerjang pesisir Donggala hingga Palu, Sulawesi Tengah.

Sesar Palu-Koro yang selama ini diketahui para ahli kebumian merupakan sesar horizontal ternyata pada 28 September 2018, pukul 17.02 WIB, justru memunculkan tsunami dengan ketinggian 0,5 hingga lebih dari tiga meter. Sebuah pekerjaan rumah bagi para peneliti dan ahli untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebab tsunami tersebut terjadi.

Sejumlah ahli, termasuk profesor geologi Amerika Serikat dari Saint Louis University John Encarnacion juga bertanya-tanya soal tsunami yang muncul di Teluk Palu setelah pergeseran horizontal dari Sesar Palu-Koro.

Namun kemudian, ia berpendapat jika ternyata permukaan dasar laut yang menjadi lokasi sesar horizontal tersebut tidak rata maka itu kemungkinan dapat memicu tsunami. Kemungkinan lain adalah telah terjadi longsoran tebing bawah laut yang dipicu oleh gempa sebelumnya.

Apapun itu yang telah memicu tsunami di Donggala dan Palu, masyarakat Indonesia dan dunia kembali diingatkan betapa dasyat dampak bencana ini.

Tidak ada yang bisa mengelak dari kehendak Tuhan. Namun sebagai mahluk ciptaan-Nya, manusia juga diajarkan untuk berikhtiar, termasuk dalam melakukan mitigasi bencana guna meminimalisir jatuhnya korban jiwa.

Peneliti Geofisika Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan mangrove dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar akan bekerja seperti jaring untuk menghadang gelombang laut seperti tsunami.

Seperti baskom berisi air lalu dimasuki spon, maka akan ada bagian air yang bergolak namun ada pula yang tenang karena terhalang oleh spon tadi, kata Nugroho.

Ia mengatakan sama halnya ketika ada pesisir yang rapat ditumbuhi mangrove maka akan ada reaksi di mana air yang ada di sisi daratan akan lebin tenang. "Sekarang kita perlu lihat apakah pantai-pantai kita masih ada mangrovenya atau tidak. Kalau ada kita perlu pelihara, kalau tidak ada tapi (daerahnya) potensial ditanami mangrove maka tanami lah," ujar dia.

Karena selain bisa meredam tsunami, Nugroho mengatakan mangrove juga bisa memberikan jasa lingkungan seperti penyerapan karbon yang baik bagi upaya pengendalian perubahan iklim dan menjadi tempat memelihara ikan-ikan dan satwa laut lainnya.

Mangrove, lanjutnya, juga memiliki karekter tumbuh di pantai yang tidak curam. Karena di sana tumbuhan ini tidak terhantam ombak. “Bisa saja kita tegakkan dengan bambu, tapi memang tidak semua pantai bisa kita kasih mangrove. Jadi perlu dilihat cocok atau tidak," kata Nugroho.

Untuk pantai-pantai di Teluk Palu, menurut Nugroho, memang akan jarang ditumbuhi mangrove mengingat daerah itu merupakan perairan dalam. Kecenderungannya jika teluk dalam dan menyisakan sedikit pantai maka gelombangnya akan besar, sehingga tumbuhan seperti mangrove akan sulit berkembang.

Namun jika mangrove ternyata tidak cocok di satu pesisir, maka untuk keperluan mitigasi bisa dibangun tembok penahan tsunami, seperti yang dilakukan di Jepang di Kota Iwanuma, Prefektur Sendai.

Sebuah program Dinding Hutan Raya yang berjalan sejak 2012 menjadi cara untuk menghadang tsunami dengan pohon, selain juga mengkombinasikannya dengan teknologi tembok penahan tsunami.

Peristiwa gempa dan tsunami 3/11 yang merenggut lebih dari 15.000 jiwa di Jepang jelas menjadi pelajaran bagi semua negara. Dari sana program Dinding Hutan Raya yang rencananya dibuat sepanjang 300 kilometer akhirnya muncul.

Begitu cara Jepang berikhtiar menghadang tsunami. Saatnya Indonesia dengan pantai terpanjang kedua di dunia yang juga rentan terkena bencana juga berikhtiar, setidaknya dengan menebalkan tegakan hutan mangrove di setiap pesisir negeri ini. (Ant.)

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…