Oleh: Gigin Praginanto, Pemerhati Kebijakan Publik
Berapa banyak bank bakal klenger dihantam kredit macet? Berapa banyak pekerja bakal kena PHK karena bos dicekik bunga bank? Berapa banyak perusahan bakal gulung tikar karena ketergantungan pada impor? Sampai kapan pemerintah setengah hati menghentikan anjloknya rupiah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas saat ini memang nyaris tak diperdulikan karena suhu politik sedang panas akibat diterpa 'gempa' Ratna Sarumpaet. Gempa ini diekspos demikian dahsyat sehingga seolah tak kalah mengerikan dibandingkan gempa bumi dan tsunami sungguhan di Sulawesi Tengah yang menewaskan lebih seribu orang, dan menghancurkan ribuan rumah.
Diperdulikan atau tidak, badai ekonomi yang dipicu oleh pelemahan rupiah, bakal tetap membesar. Untuk mencegahnya agar tak menjadi badai mematikan, sangat tergantung pada sikap pemerintah, yang sampai sekarang masih setengah hati dan sangat mengandalkan kebaikan BI menghamburkan dolar AS ke pasar agar rupiah tak anjlok lebih dalam.
Intervensi oleh BI sudah terbukti tak efektif dan meski telah membuat cadangan devisa merosot tajam. Intervensi BI bahkan tampak konyol kalau dikaitkan dengan pemerintah yang tetap saja giat menghamburkan dolar AS ke luar negeri. Penghamburan ini karena pemerintah masih bergairah impor pangan, termasuk untuk hewan; dan membangun infrastruktur yang sangat tergantung pada komponen impor.
Sejauh ini yang dilakukan oleh pemerintah hanya menaikkan pajak untuk berbagai barang impor. Hanya saja hal ini tidak diimbangi dengan operasi untuk memberantas barang-barang selundupan, yang bisa saja meluas akibat kenaikan pajak.
Sikap keras kepala ini jelas terkait dengan Pilpres 2019, dimana 'jualan' utama pemerintah adalah pembangunan infrastuktur. 'Jualan' ini memang efektif untuk mengatrol popularitas. Maklum, sejak zaman Orba, pembangunan infrastruktur di Indonesia memang lamban.
Namun pembangunan infrastuktur bukanlah segalanya mengingat kebanyakan orang Indonesia masih hidup pas-pasan. Lihat saja, menurut Menkeu Sri Mulyani, perekonomian Indonesia bagaikan danau dangkal. Salah satu bukti yang diajukan, dana pensiun di Indonesia dibandingkan PDB masih sangat kecil bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal yang sama juga terjadi pada tabungan masyarakat.
Maka, ketika biaya hidup naik, kegelisahan masyarakat bisa cepat melesat. Popularitas yang telah dibangun bertahun-tahun pun bisa ambruk dalam sekejap.
Sekarang ini kegelisahaan memang masih milik para bankir, dan pebisnis yang mengandalkan barang impor dan kredit bank. Mereka was-was karena kemerosotan rupiah sesungguhnya seperti bom waktu yang siap meledak ketika perbankan terpaksa menaikkan suku bunga, yang bisa membuat ketersediaan dana menjadi langka dan mahal. Kredit macet pun bisa melambung tinggi.
Soal kapan bom tersebut akan meledak jelas tergantung pada sikap pemerintah, mau serius menghentikan penghamburan dolar AS ke luar negeri atau tidak. Sikap ini tergantung bagaimana pemerintah melihat mana lebih penting, politik atau ekonomi? Sekarang ini yang tahu mungkin hanya Presiden dan Tuhan. Kita lihat saja nanti. (www.watyutink.com)
Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…
Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…
Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…
Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…
Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…
Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…