Negara Belum Siap?

Bencana alam memang datang tak terduga. Namun, teknologi canggih saat ini setidaknya sudah mampu mendeteksi gejala seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami yang umumnya sulit diprediksi oleh manusia. Pemerintah seharusnya mampu menghadapi dan mengurangi risiko bencana, dengan cara melakukan penyiapan teknologi modern dan melakukan  sosialisasi tatacara penyelamatan dini yang masif kepada warga sekitarnya. Pemerintah juga bertanggungjawab membangun kesiap-siagaan unit-unit kerjanya, serta mengedukasi masyarakat untuk menghadapi bencana yang setiap saat terjadi dimana dan kapan pun.

Walau pemerintah sudah menerbitkan  PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, masyarakat dan pemda setempat tampaknya sering “kecolongan” saat bencana alam tiba. Padahal, dalam PP itu dijelaskan tentang mitigasi bencana yang mencakup serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Tapi, apa yang terjadi? Setiap bencana alam menimpa negara ini, yang terpapar adalah betapa pemerintah kalang-kabut mengatasi keadaan. Lihat saja, bencana dahsyat yang terjadi di Donggala dan Palu pecan lalu, bahkan di semua bencana di Indonesia. Seringkali korban meninggal bukan karena bencana itu sendiri, tapi karena terlambatnya pertolongan dating ke lokasi.

Kesiapan pemerintah itu bukan ditunjukkan dengan langsung turunnya Presiden ke lokasi bencana, tapi bagaimana unit-unit pemerintah yang bertanggungjawab bergerak dengan cepat dan tepat. Apakah pemerintah kurang bergerak cepat? Jika melihat kejadian di Donggala dan Palu, ketika masyarakat yang kelaparan terpaksa “menjarah” toko untuk mendapatkan makanan, maka itu merupakan bukti pemerintah terlambat mengirimkan logistik makanan.

Alasan keterlambatan itu selalu klasik –dan karena itu terdengar sangat menjengkelkan lantaran  selalu diulang-ulang. Keluhan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah kurangnya alat berat untuk melakukan evakuasi korban. “Kami perlu alat berat dalam jumlah banyak,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta (1/10). Pernyataan serupa juga kita dengar saat terjadi bencana di Lombok, Mentawai, Aceh dan daerah lain.

Pertanyaannya, kalau soal kekurangan alat berat ini selalu menjadi kendala dalam penanganan bencana, mengapa negara tidak mencukupinya? Itu baru soal alat berat. Belum lagi alat komunikasi, sanitasi, dan sebagainya. Berapa pun harganya, dan berapa pun jumlahnya yang dibutuhkan, jangan bicara mahal dan jangan bicara tak ada uang. Sebab yang dipertaruhkan di sini adalah nyawa manusia. Negara wajib melindungi warganya yang tertimpa musibaj bencana alam.

Kita tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi,  mengapa pengadaan alat-alat berat seperti itu tidak memenuhi kebutuhan pada saat bencana tiba? Kita melihat di TV saat banyak korban tertimbun di reruntuhan Hotel Roa-Roa di Palu, alat berat bantuan pemerintah ternyata terlambat tiba. Namun partisipasi masyarakat setempat lah yang pertama kali membantu menyelamatkan korban di bawah reruntuhan hotel tersebut.

Strategi mengelola negara harus mempertimbangkan fakta-fakta yang melekat pada negara itu. Tidak hanya fakta geografis, sosiologis atau demografis, tetapi juga fakta geologis. Bukankah semua itu fakta yang harus dipahami pemerintah, dan merumuskan kebijakan yang sesuai dengan fakta itu.

Padahal, semestinya, pemerintah sudah paham bahwa fakta geologis dan vulkanologis negara ini rawan bencana alam. Indonesia sangat rentan gempa bumi, mengingat posisinya  berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik. Indonesia juga dipenuhi patahan atau sesar aktif. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) jumlahnya lebih dari  200 patahan aktif dari Aceh sampai Papua. Sehingga, secara teoritis, Indonesia bisa mengalami gempa tektonik 10 kali sehari. Indonesia juga berada di posisi Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang sering menimbulkan gunung meletus dan gempa vulkanik.

Bahkan yang lebih menyedihkan, Indonesia yang dikelilingi laut dan rawan gempa ini ternyata tidak mempunyai alat pendeteksi gelombang tsunami yang dikenal dengan nama “Buoy” yang sejak 2012 raib dari sejumlah titik bencana alam. Kepala BNPB Sutopo Purwonugroho mengakui alat yang efektif itu sudah raib, padahal alat itu sangat efektif untuk menyampaikan informasi adanya gejala gelombang pasang di laut yang menjurus menjelma tsunami.

Semula ada 22 unit Buoy yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Tapi hanya sembilan unit yang punya Indonesia, sisanya kepunyaan  Jerman, Malaysia, dan Amerika Serikat. Kini semua alat itu tidak ada yang berfungsi. Mengapa?

“Tidak ada biaya pemeliharaan,” kata Sutopo. Lalu mengapa sejak 2012 tidak kunjung dibeli? “Mungkin, ya, soal dana,” katanya lagi.  Dalam jumpa pers Sutopo juga mengeluhkan mitigasi bencana yang terkendala masalah anggaran. Kalau begini terus, bagaimana mau mengatakan negara ini siap menghadapi bencana? Apakah ini bisa dikategorikan sebagai kealpaan pemerintah?

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…