Otto : Menurut Hakim Sjamsul Nursalim Tidak Terlibat

Otto : Menurut Hakim Sjamsul Nursalim Tidak Terlibat

NERACA

Jakarta - Pengacara Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan menilai pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) justru semakin menguatkan fakta bahwa kliennya tidak terlibat dalam perkara ini.

Pasalnya, dalam pertimbangan majelis hakim saat sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/9), disebutkan bahwa terdakwa SAT tidak sendiri melakukan perbuatannya, melainkan dilakukan secara bersama-sama dengan pihak yang terkait lainnya yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut.

"Dari pertimbangan tersebut berarti klien kami tidak terlibat dan tidak terbukti bersama-sama melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada SAT," tegas Otto saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Senin (24/9) malam.

Kuasa hukum SAT, Yusril Ihza Mahendra, juga mengaku heran dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyatakan kliennya bersalah dalam kasus pemberian SKL BLBI.

"Seluruh fakta-fakta yang dikemukakan di persidangan itu diabaikan sama sekali oleh majelis hakim. Sehingga apa yang dianggap sebagai fakta yang terungkap itu hanya mengutip apa yang tertuang dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum di persidangan. Padahal itu sudah dibantah oleh saksi-saksi, oleh ahli, oleh alat bukti yang lain tetapi seperti dianggap  tidak pernah ada," tegas Yusril.

Dia juga menilai vonis ini sangat ganjil karena majelis hakim tidak mempertimbangkan faktor tempus delicti, dimana dugaan kerugian negara baru terjadi setelah beberapa tahun BPPN dibubarkan dan kliennya telah menyerahkan aset kepada Menteri Keuangan.

"Yang sangat ganjil, pendirian kami, kapan sih dugaan kerugian terjadi, ya terjadi pada 2007," kata Yusril di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/9/2018), usai sidang pembacaan vonis kliennya.

Menurut Yusril, bahwa sebelum BPPN menyelesaikan tugasnya, Syafruddin menyerahkan aset berupa hak tagih utang petambak sejumlah Rp4,8 trilyun kepada Menteri Keuangan saat itu. Kemudian aset diserahkan kepada PT PPA. "Diserahkan sama Pak Syafruddin Rp4,8 triliun tapi dijual oleh PPA seharga Rp220 miliar sehingga negara dianggap rugi. Yang jual itu siapa, itu yang saya tidak mengerti," ujarnya.

Terkait masalah tempus delicti ini, tim kuasa hukum sudah menyampaikan sanggahan dalam pledoi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, bahwa kerugian keuangan negara itu terjadi pada tahun 2007, atau bukan lagi di bawah tanggung jawab terdakwa.

"Kami sudah menyanggah kapan tempus delicti dari pristiwa pidana yang didakwakan dan fakta-fakta persidangan itu dugaan kerugian di 2007. Lantas tahun 2007 aset itu dijual siapa, Syafruddin atau yang lain? Dijawab oleh PPA, kenapa Syafrudin yang dihukum," katanya.

Tim kuasa hukum berpendapat demikian, namun majelis hakim meski mempertimbangkan pledoi, tapi ujung-ujungnya tidak sependapat, meski itu merupakan fakta persidangan dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.

"Kami tidak mengerti, gimana bisa tidak sependapat dengan alasan dan fakta yang sangat logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, namun majelis hakim tidak sependapat. Orang lain yang menjual tapi Syafruddin yang harus dihukum. Kami sangat heran," ujarnya.

Karena itu, lanjut Yusril, kliennya langsung menyatakan akan melakukan banding atas vonis 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan ini karena jauh dari rasa keadilan dan tidak ada kepastian hukum.

"Pak Syafruddin sudah berkonsultasi dengan kami sehingga walaupun satu hari dihukum tetap akan melakukan perlawanan karena persoalannya adalah persoalan keadilan dan kepastian hukum," ujarnya.

Sementara Syafruddin mengaku akan melakukan upaya hukum sampai titik akhir dan memperoleh keadilan serta kepastian hukum. Ia mengaku tidak takut sama hukuman akan diperberat atau diperingan, karena ini bicara soal kepasitian hukum dan ketidakadilan. Mohar

 

 

BERITA TERKAIT

Ombudsman Duga Ada Penyalahgunaan Beras SPHP

NERACA Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan pihaknya memiliki sejumlah dugaan kenapa harga beras masih mahal meski…

AMAN Desak DPR Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

NERACA Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah…

Kemenkumham RI Bahas Pasal Kekayaan Intelektual pada Pertemuan GRTKF

NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI membahas berbagai pasal mengenai kekayaan intelektual pada pertemuan terkait Sumber Daya…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Ombudsman Duga Ada Penyalahgunaan Beras SPHP

NERACA Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan pihaknya memiliki sejumlah dugaan kenapa harga beras masih mahal meski…

AMAN Desak DPR Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

NERACA Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah…

Kemenkumham RI Bahas Pasal Kekayaan Intelektual pada Pertemuan GRTKF

NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI membahas berbagai pasal mengenai kekayaan intelektual pada pertemuan terkait Sumber Daya…