Kebijakan Pemda Soal Koperasi?

Oleh: Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Islam  

Penciptaan  atau penyerapan tenaga kerja acap kali menjadi—selogan politik  tiap – tiap kampanye yang dilakukan oleh tiap kandidat pemiihan kepala daerah (pilkada). Bahkan, dalam tiap – tiap kampanye  tersebut mereka  nyaris menyebutkan angka – angka pertumbuhan domestik bruto (PDB) yang  tinggi jika terpilih nanti. Hal ini tentunya  menarik  dan memiliki daya magis tersendiri bagi para pemilih  dalam pemilihan kepala daerah. Tapi sangat disayangkan, usai pemilihan pilkada  itu  selesai dan salah satu dari para kandidat tersebut terpilih menjadi salah satu kepala daerah, nyaris janji – janji kampanye itu mampu terimplementasikan.  Pada hal, jika mau itu terwujud—tak terlalu sulit untuk dilakukan oleh para gubernur, Wali Kota atau Bupati jika mereka memiliki visi dan misi dalam mengembangkan koperasi sebagai kebijakan politik pembangunannnya.

Dalam kajian – kajian studi ekonomi pembangunan selalu disinggung terkait peningkatan PDB,  dan peningkatan PDB  bukan saja dipengaruhi oleh faktor konsumtif yang ada di masyarakat, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tingkat produktif masyarakat yang akhirnya mendorong terciptanya pelaku – pelaku usaha. Untuk itu peran dan fungsi usaha dimasyarakat seperti terbentuknya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)—sebagai salah satu variabel tersendiri dalam terciptanya pelaku – pelaku usaha. Apabila pemda melihat peluang ini, seyognya pembangunan ekonomi berbasis koperasi dan UMKM menjadi salah satu keseriusannya dalam rangka menjalankan program – program pembangunan.

Lantas dengan cara apa,  pemda membuat kebijakan – kebijakan publik berbasis koperasi dan UMKM tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu tentunya diperlukan political will dan good will yang dimiliki oleh pemda. Tanpa itu semua, sebuah kemustahilan bisa terwujud. Apalagi bagi kepala daerah untuk  menjalankan program tersebut ada risiko yang tinggi dengan  berhadapan  para kartel yang selama ini sangat dominan mempengarui kebijakan – kebijakan ekonomi publik agar menjadi ekonomi pro pasar. Tapi demi kepentingan rakyat dan bangsa secara nasional—harus ada sebuah keberanian oleh kepala daerah sebagai pelopor perubahan masyarakat.

Untuk menjalankan program ini kepala daerah harus berani dalam menentukan besarmnya portofolio anggaran pembangunan belanja daerah (APBD) untuk program – program koperasi dan UKM. Dengan asumsi bahwa jika koperasi dan UKM maju akan berdampak kepada sektor pendapatan pajak dan retribusi pendapatan daerah yang ujung – ujungnya akan berdampak pada pendapatan anggaran daearh (PAD). Kemudian pemda harus  mampu  melakukan rekayasa keuangan daerahnya, dimana dana – dana pemda yang menganggur tidak dimasukkan dalam instrumen Surat Bank Indonesia (SBI), sukuk atau deposito perbankan. Tapi pemda harus mampu memaksakan diri merubah paradigma tersebut dengan menempatkan dana – dananya di koperasi yang memiliki tingkat kualitas kesehatan dan profesional. Dengan dana ditempatkan di koperasi, maka koperasi – koperasi di daerah akan memiliki dana murah yang kompetitif untuk disalurkan kepada masyarakat.

Selain itu, dalam rangka menggairahkan kredit atau pembiayaan di koperasi, pemda harus memelopori terbentuknya jaminan kridit daerah (jamkrida) yang dananya bersumber dari APBD. Jika ini bisa berjalan akan memudahkan terbentuknya  APEX – koperasi daerah yang  bisa didirikan di tiap – tiap daerah sebagai kekuatan jangkar atau induk dari koperasi – koperasi prmer. Dengan konsep tersebut maka terkait operasionalnya perbankan yang ada di daerah, dimana peran dan fungsi bank di daerah hanyalah sebatas mitra dalam penempatan dana saja dan mengenai penyaluran kredit melalui linked program koperasi.

Untuk mengoptimalkan visi pembangunan ekonomi daerah  tersebut pemda  bisa memperoleh dukungan dari masyarakat dengan mengoptimalisasi  gerakan filantropy berbasis zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf (ZISWA) yang mampu digunakan pula untuk mendukung kebijakan fiskal daerah. ZISWA adalah salah satu instrumen dalam ekonomi syariah yang mampu sebagai alternatif dalam  mendorong turbinisasi perubahan sosial dan ekonomi masyarakat. Jadi semua kembali kepada  keberanian masing – masing pemda  dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan, punyakah  mereka komitmen atau tidak. Apakah sebaliknya, gara – gara tersandera dengan politik “para kartel” sehingga memilih ekonomi liberal sebagai pilihannya?   Sehingg menciderai amanat konstitusi dan hati rakyat.    

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…