Darurat Devisa vs Tekanan Krisis

Unruk mengantisipasi dampak berkelanjutan krisis ekonomi Turki, pemerintah Indonesia perlu lebih dini menangkal dampak dari krisis di negara tersebut. Pasalnya, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS dan guncangan indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini terpicu oleh beberapa faktor. Selain dinamika di dalam negeri atas ambruknya mata uang lira Turki terhadap dolar AS, juga masih dipicu oleh ancaman perang dagang AS-China dan kenaikan suku bunga The Fed.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengakui, pelemahan nilai tukar rupiah pada hari ini tak lepas dari sentimen yang berasal dari ketidakpastian Turki, yang merembet ke perekonomian global hingga memengaruhi Indonesia. “Faktor berasal dari Turki menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi dinamika di Turki, tapi juga karena nature atau karakter persoalan yang sebetulnya serius,” ujarnya.

Mulai dari masalah nilai tukar, juga pengaruh terhadap ekonomi domestik, dan terutama juga dimensi politik dan keamanan di Turki.
Bagi ekonomi Indonesia sendiri, sejatinya saat ini masih cukup positif yang tercermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang mencapai 5,2% merupakan cermin sedikit optimism saat ini.

Kemudian, ketidakstabilan harga minyak dunia menyusul ketegangan di Turki dan sanksi Amerika atas Iran. Harga minyak masih bergerak labil, pasca di sepanjang pekan lalu tertekan cukup signifikan. Dalam seminggu terakhir, harga light sweet yang menjadi acuan di AS terkoreksi 1,26%, sementara Brent yang menjadi acuan di Eropa juga turun 0,55%. Dengan capaian itu, harga minyak AS bahkan mencetak performa mingguan negatif selama 6 pekan berturut-turut.

Hal lain yang patut dicermati adalah, sentimen dari rilis data neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang masih mengalami defisit US$4,3 miliar pada kuartal II-2018, jauh lebih tinggi ketimbang periode sama kuartal lalu. Pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan (current account deficit-CAD) masih tercatat  US$8,03 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Posisi ini lebih dalam dari periode sama kuartal lalu.

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi.

Melihat gambaran tersebut, perekonomian Indonesia saat ini bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya dukungan devisa. Meski demikian, BI masih meyakini kondisi ini akan tetap terjaga hingga akhir tahun.

Apalagi melihat dinamika global, regional dan lokal yang terus berlangsung dan selalu berdampak negatif terhadap rupiah dan IHSG, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ekonomi kita ada masalah, persisnya ekonomi kita masih rapuh. Masalah itu tercermin dari terus jatuhnya kedua indikator tersebut, yang beberapa waktu lalu sempat menguat, tapi belakangan merosot kembali.

Melihat struktur defisit transaksi berjalan yang demikian besar, maka satu-satunya jalan adalah melakukan pengetatan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE). Upaya Bank Indoensia agar DHE ditamping di perbankan dalam negeri sudah tercapai hingga 80%, namun dari jumlah tersebut yang benar-benar dikonversi ke dalam rupiah hanya 15%. Kalau total ekspor nasional pada 2017 tercatat sebesar US$$168,82 miliar. Sampai Juni 2018, total ekspor Indonesia sudah mencapai US$89,47 miliar.

Jadi kalau pada 2018 total ekspor bisa mencapai US$170 miliar, maka 80%-nya atau US$136 miliar disimpan ke perbankan dalam negeri. Dari jumlah tersebut yang ditukarkan dalam rupiah hanya US$20,4 miliar, itu sudah cukup memperkuat rupiah.

Akibat tidak dikonversi seluruhnya dalam rupiah, sehingga BI harus melakukan intervensi di pasar uang dan pasar obligasi sebesar US$13 miliar. Itu saja masih dibantu menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate.

Memang saat ini ada kelemahan pengaturan devisa yang masih terkesan bebas seperti tercantum dalam UU No 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa, sehingga pemerintah tidak berdaya untuk mengikat kapan devisa hasil ekspor (DHE) yang masuk dapat keluar kembali dari Indonesia. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.  Di Malaysia, valas yang masuk minimal harus disimpan di bank selama 6 bulan. Sementara di Thailand, DHE diwajibkan dikonversi ke Thai Bhat.

Karena itu, demi menjaga stabilitas rupiah dan cadangan devisa Indonesia menghadapi guncangan ekonomi dari negara tetangga termasuk Turki, maka Presiden Jokowi melalui kewenangannya dapat mengeluarkan Perppu khusus mengatasi kondisi darurat devisa Indonesia saat ini. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…