Industri Rotan Indonesia Krisis Bahan Baku dan SDM Terampil

NERACA

Jakarta - Industri rotan di Cirebon masih kekurangan bahan baku untuk memenuhi permintaan dalam negeri akibat derasnya arus ekspor rotan keluar negeri. Meskipun Indonesia memasok sekitar 85 % kebutuhan rotan dunia, tapi bahan baku untuk industri dalam negeri kekurangan.

“Kondisi ini membuat ada sekitar 30% industri rotan di Indonesia gulung tikar,” kata Hatta Sinatra, Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) saat menerima kunjungan Menteri Perindustrian, MS Hidayat, di Desa Gobang, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Selasa.

Hatta mengungkap, sebenarnya Cirebon merupakan kota rotan, namun sekarang eksistensinya patut dipertanyakan, karena industri rotan disitu kekurangan bahan baku.

“Apalagi dengan ada ACFTA, ini memperparah keadaaan industri rotan Indonesia, karena China dapat memasuki industri kita sampai 30 ribu kontainer per bulan dan mereka bisa mendapatkan tax refund sebesar 13,5%,” ungkapnya.

Menurut Hatta, masalah distribusi produk ekspor menjadi kendala bagi pelaku usaha rotan di Cirebon. Selama ini, produsen rotan mengeluarkan biaya yang mahal jika mengirim barang ke luar negeri.

Pasalnya, pelabuhan di Kota Cirebon tidak memliki fungsi untuk melakukan aktivitas pengiriman barang. “Produsen harus mengirim produk jadi melalui pelabuhan Tanjung Priok dan 1 kontainer dikenakan biaya Rp 3 juta. Kalau bisa dikirim lewat pelabuhan di Cirebon hanya kena biaya sebesar Rp 500 ribu,” imbuhnya.

Sementara Hidayat menjelaskan, hampir 90% produk kerajinan rotan dari dalam negeri diekspor ke Asia, Amerika Serikat, Afrika, Eropa serta Australia. Tahun lalu, nilai ekspor furniture termasuk rotan sekitar US$ 4,1 milliar.

“Kemampuan sumber daya manusia masih sangat rendah dalam penguasaan teknologi maupun desain produk rotan. Kedepannya, pemerintah akan meninjau kembali kebijakan ekspor bahan baku dan bahan setengah jadi rotan,” ujar Hidayat.

Menurutnya, bahan mentah dan barang setengah jadi menguntungkan negara pesaing yang membuat produk rotan. Tahun lalu, ekspor produk rotan sebesar US$ 131,875  dengan 66 perusahaan yang mengirim produk diatas 50 kontainer.

“Ekspor produk rotan tahun 2010 mencapai US$ 131,875  dengan 66 perusahaan yang mengirim 50 kontainer, sedangkan tahun 2009 sekitar US$ 101,145 dengan 73 perusahaan. Untuk memaksimalkan dan meningkatkan daya saing produk rotan, pemerintah akan membangun terminal bahan baku sebagai buffer stock di daerah sentra industri mebel rotan,” jelas Hidayat.

Dewan Penasehat Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Soenoto menambahkan, adalah ironi Indonesia yang punya 85% rotan dunia tetapi tidak mampu meraih pasar furniture rotan hanya karena bahan baku dijual ke pesaing Indonesia.

“Dengan 9.000 ton rotan diekspor ke negara lain berarti ada 3.000 kontainer produk jadi rotan yang direbut negara lain,” kata Soenoto.

Di China saja, lanjut Soenoto, industri kerajinan dan furniture rotan saat ini telah berkembang dan mampu menyerap 60 juta tenaga kerja yang berarti menghidupi 240 juta jiwa.

“Kalau saja itu terjadi di Indonesia maka masalah pengangguran akan bisa teratasi dan berapa devisa yang akan masuk, apalagi sentra produksi rotan lebih banyak di luar Jawa, maka akan terjadi pemerataan pembangunan,” tandas Senoto.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), selama tahun 2001-2004, jumlah perusahaan, produksi, ekspor, serta penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon terus meningkat. Jumlah perusahaan bertambah dari 923 unit menjadi 1.060 unit usaha, produksi melonjak dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton. Sementara itu, ekspor bertumbuh dari 32.871 ton atau setara US$ 101,67 juta menjadi 51.544 ton atau senilai US$ 116,57 juta. Serapan tenaga kerja bertambah dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang.

Sementara itu, potensi rotan di Indonesia sekitar 622 ribu ton per tahun yang dihasilkan dari pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Sedangkan, potensi produksi rotan lestari (allowable cut) hanya sebesar 140.150 ton.

Namun, sejak 2005 hingga sekarang, produksi, ekspor, dan serapan tenaga kerja di sektor pengolahan rotan di Cirebon terus merosot signifikan. Penurunan dinilai akibat masih adanya ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah. Di sisi lain, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, seperti Tiongkok dan Vietnam berkembang pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi ekspor rotan dari Indonesia.

Hatta juga mengatakan, industri mebeler rotan di China tengah mengalami masalah kekurangan tenaga kerja khusus rotan sehingga banyak pesanan dari negara lain yang tidak bisa dipenuhi.

“Setelah tahun baru China, pekerja rotan pulang kampung dan ternyata tidak kembali lagi, tetapi bekerja di sektor elektronik. Mereka menganggap bekerja di mebeler rotan merupakan pekerjaan kotor. Ini kesempatan kita untuk bangkit meraih kembali pasar dari China," katanya.

Ia mengungkapkan, banyak order dari Amerika Serikat yang tidak bisa dipenuhi industri mebeler China sehingga mereka beralih ke negara lain termasuk Indonesia.

Bahkan, ada beberapa investor mebeler dari Taiwan yang mengalihkan industrinya dari China pindah ke Jawa Timur, Indonesia, bahkan sudah ada yang membebaskan lahan seluas 47 hektar.

"Mereka menganggap investasi di Indonesia lebih murah termasuk biaya tenaga kerja yang murah. Mereka bilang kejayaan industri mebeler China sudah tamat," terangnya.

Namun, menurut dia, untuk mengambil pesanan yang tidak bisa dipenuhi China juga tidak mudah karena di sentra industri rotan seperti Cirebon juga mengalami kesulitan tenaga kerja.

"Akibat banyaknya industri rotan yang gulung tikar sejak kebijakan buka kran ekspor bahan baku rotan, banyak tenaga terampil rotan yang sudah beralih ke sektor lain dan tidak gampang untuk menarik mereka kembali," katanya.

Ia mengungkapkan, ketika baru-baru ini mendapat order besar limpahan dari China ternyata kesulitan mencari 100 tenaga penganyam rotan baru. "Saya terkaget-kaget dengan fenomena itu. Dulu di sini ada 1.000 orang tenaga pengayam yang kemudian terus menurun, sekarang mencari 100 tambahan baru ternyata perlu waktu sampai 10 hari baru ada," katanya.

Fenomena itu memberikan pelajaran, betapa tenaga terampil bidang rotan sebenarnya merupakan aset berharga sehingga jangan sampai kemudian semakin hilang hanya karena Indonesia hanya meraih sedikit "kue" mebeler rotan dunia. "Kalau sudah habis, akan sulit kembali untuk bangkit. Jadi yang ada ini harus dipertahankan," katanya.

BERITA TERKAIT

Pertamina EP Subang Field Nyalakan Harapan Pendidikan Lingkungan

NERACA Subang - Suara riuh anak-anak menyambut pagi, berpadu dengan dentingan botol plastik dan gemerisik kardus bekas. Dari lapangan sekolah,…

Indonesia Tidak Sedang dalam Fase Deindustrialisasi

NERACA Jakarta – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak sedang dalam fase deindustrialisasi. Sebab, beberapa indikator…

Indonesia Tak Gentar Hadapi Kebijakan Tarif Trump

NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia menanggapi dengan tegas kebijakan Amerika Serikat (AS) yang memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap…

BERITA LAINNYA DI Industri

Pertamina EP Subang Field Nyalakan Harapan Pendidikan Lingkungan

NERACA Subang - Suara riuh anak-anak menyambut pagi, berpadu dengan dentingan botol plastik dan gemerisik kardus bekas. Dari lapangan sekolah,…

Indonesia Tidak Sedang dalam Fase Deindustrialisasi

NERACA Jakarta – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak sedang dalam fase deindustrialisasi. Sebab, beberapa indikator…

Indonesia Tak Gentar Hadapi Kebijakan Tarif Trump

NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia menanggapi dengan tegas kebijakan Amerika Serikat (AS) yang memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap…

Berita Terpopuler