Oleh : Pormadi Simbolon, pemerhati pendidikan dan kebudayaan, alumnus STF Driyarkara.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial oleh anak-anak di Indonesia meningkat pesat. Berbagai platform media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, dan sering kali menggantikan aktivitas belajar serta interaksi sosial yang lebih bermakna.
Yang menjadi keprihatinan bersama adalah dampak negatif yang berakibat pada merosotnya kualitas pendidikan anak sebagai penerus bangsa. Survei Neurosensum Indonesia (2021) menunjukkan bahwa 87 persen anak Indonesia sudah mengenal media sosial sebelum usia 13 tahun, dengan rata-rata anak mulai menggunakannya pada usia 7 tahun.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) mengungkap bahwa 67,65 persen peserta didik usia 5-24 tahun menggunakan internet untuk mengakses media sosial, sementara 90,76 persen peserta didik menggunakannya untuk hiburan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan anak-anak dan remaja di Indonesia.
Meskipun media sosial menawarkan akses informasi yang luas, dampak negatifnya terhadap pendidikan anak tidak bisa diabaikan. Paparan konten digital yang berlebihan telah menyebabkan penurunan konsentrasi, melemahnya kemampuan berpikir kritis, serta gangguan sosial dan emosional.
Beberapa dampak negatif terhadap pendidikan anak adalah, pertama, gangguan konsentrasi dan penurunan prestasi akademik. Media sosial memang dirancang untuk menarik perhatian pengguna dengan konten yang cepat dan menarik. Akibatnya, anak-anak semakin sulit untuk fokus dalam belajar.
Studi meta-analisis terhadap 117 penelitian pada anak-anak di bawah usia 10,5 tahun menunjukkan bahwa semakin lama anak-anak menghabiskan waktu di depan layar, semakin besar risiko mereka mengalami masalah sosial dan emosional seperti kecemasan, depresi, hiperaktif, dan perilaku agresif. Di Indonesia, data BPS (2023) mencatat bahwa 94,16 persen anak muda usia 16-30 tahun mengakses internet, dengan 84,37 persen di antaranya menggunakan internet untuk media sosial.
Banyak guru melaporkan bahwa siswa lebih sering terganggu oleh notifikasi ponsel saat belajar di kelas. Mereka lebih tertarik untuk mengecek media sosial daripada menyelesaikan tugas sekolah. Jika tren ini terus berlanjut, kualitas pendidikan akan semakin menurun, dan generasi muda akan kesulitan mengembangkan kemampuan berpikir mendalam.
Kedua, ketergantungan dan melemahnya kemampuan berpikir kritis. Media sosial menyajikan informasi dalam bentuk yang instan dan sering kali tanpa konteks yang memadai. Anak-anak yang terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat cenderung kehilangan kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi secara kritis.
Penelitian tentang overstimulasi otak akibat media sosial menunjukkan bahwa paparan konten digital yang berlebihan menyebabkan ketidakmampuan untuk fokus dan berpikir secara mendalam. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin memperburuk kondisi mental anak-anak yang merasa harus selalu terhubung dengan media sosial. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, mereka akan kesulitan dalam memahami konsep akademik yang membutuhkan pemikiran analitis dan reflektif.
Ketiga, dampak sosial dan emosional. Selain mengganggu pendidikan, media sosial juga berdampak negatif pada perkembangan sosial dan emosional anak. Cyberbullying, kecemasan sosial, dan perasaan rendah diri akibat pembandingan dengan kehidupan orang lain di media sosial semakin marak terjadi.
Studi yang dilakukan oleh Andi Nurlela, Atma Ras, dan Musrayani Usman (Jurnal Neo Societal, Vol. 9;No.4; 2024) dari Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa media sosial berperan signifikan dalam pembentukan identitas sosial anak melalui interaksi simbolik. Di sana, mereka membangun citra diri ideal untuk mendapatkan pengakuan dari teman sebaya. Namun, tekanan sosial untuk selalu tampil sempurna dapat menyebabkan kecemasan dan rendahnya harga diri.
Selain itu, penelitian ini mengungkap adanya konflik antara nilai-nilai budaya lokal dan norma global yang lebih individualis. Di Indonesia, budaya komunitas masih kuat, tetapi media sosial mendorong anak-anak untuk lebih menonjol secara individu, sering kali dengan cara yang tidak selaras dengan nilai-nilai kolektivitas mereka.
Akibatnya, banyak anak mengalami kebingungan dalam menavigasi identitas mereka di dunia nyata dan dunia maya, yang berdampak pada kepercayaan diri dan kesejahteraan psikologis mereka. Penelitian ini semakin memperkuat argumen bahwa media sosial tidak hanya mempengaruhi pola pikir anak dalam pendidikan, tetapi juga membentuk cara mereka melihat diri sendiri dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memahami bagaimana media sosial mempengaruhi identitas anak dan mengambil langkah-langkah untuk membimbing mereka dalam membangun citra diri yang sehat.
Peran orang tua dan institusi
Ada beberapa usulan solusi untuk masalah ini. Pertama, pendidikan literasi digital. Salah satu solusi utama adalah mengajarkan anak cara menggunakan media sosial secara bijak. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah, sehingga anak-anak dapat memahami bagaimana mengelola waktu mereka di dunia digital dan membedakan informasi yang valid dari yang menyesatkan dan hoaks.
Pemikiran John Dewey, seorang filsuf pragmatisme yang sangat kritis terhadap lingkungan sosial dan bidang pendidikan, terutama tentang pendidikan berbasis pengalaman sangat relevan dalam konteks ini. Dalam karyanya Experience and Education (1938), Dewey berpendapat bahwa anak-anak belajar paling efektif melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung, bukan hanya dengan menerima informasi secara pasif.
Oleh karena itu, literasi digital harus diajarkan dengan pendekatan yang interaktif, seperti diskusi, simulasi, dan proyek berbasis masalah, agar anak-anak benar-benar memahami dampak media sosial terhadap kehidupan mereka.
Kedua, penerapan regulasi dan pengawasan. Sekolah perlu menerapkan kebijakan atau peraturan yang membatasi penggunaan ponsel selama jam belajar. Selain itu, orang tua harus lebih aktif dalam mengawasi aktivitas digital anak-anak mereka, termasuk menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial.
Dalam konteks ini, Lev Vygotsky (1978), seorang psikolog dan filsuf Rusia, menawarkan konsep Zone of Proximal Development (ZPD), yang menunjukkan bahwa anak-anak belajar paling efektif ketika mereka dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berpengalaman. Pengawasan orang tua dan guru terhadap penggunaan media sosial bukan hanya soal pembatasan, tetapi juga tentang membimbing anak-anak dalam memahami bagaimana teknologi dapat digunakan secara produktif untuk pembelajaran dan pengembangan diri.
Ketiga, mendorong interaksi sosial yang sehat. Pendidikan harus lebih menekankan interaksi sosial yang nyata, seperti diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan pembelajaran berbasis proyek. Dengan cara ini, anak-anak dapat mengembangkan keterampilan komunikasi dan kerja sama yang lebih baik, yang tidak bisa didapatkan melalui media sosial.
Seorang pendidik, ilmuwan, dan dokter berkebangsaan Italia, Maria Montessori, dalam bukunya The Absorbent Mind (1949) menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak, dengan lingkungan yang memungkinkan eksplorasi dan pembelajaran mandiri. Dalam konteks ini, sekolah perlu menciptakan ruang bagi anak-anak untuk berinteraksi secara langsung, membangun keterampilan sosial, dan mengembangkan kreativitas mereka tanpa ketergantungan pada media sosial.
Selain itu, Paulo Freire, filsuf Brazil dalam karya terkenalnya, Pedagogy of the Oppressed (1970) berpendapat bahwa pendidikan harus membebaskan anak dari pola pikir pasif dan mendorong mereka untuk berpikir kritis serta memahami dunia secara lebih mendalam. Dengan mendorong interaksi sosial yang sehat, anak-anak dapat belajar untuk mempertanyakan informasi yang mereka temui di media sosial dan mengembangkan pemikiran yang lebih reflektif serta kritis.
NERACA Jakarta - Garibaldi Thohir didaulat sebagai Ketua Ikatan Keluarga Alumni SMA Negeri 3 Teladan Jakarta (IKA Teladan) menggantikan…
Ahli Bidang Teknik Mesin dari Universitas Diponegoro, Mochammad Aryanto PhD mengungkapkan pembelajaran kecerdasan buatan (AI) di tingkat dasar memiliki…
Kementerian Sosial (Kemensos) mengatakan sebanyak 53 Kepala Sekolah Rakyat mengikuti retret yang diselenggarakan di Pusdiklatbangprof Kemensos, Jakarta Selatan mulai dari…
NERACA Jakarta - Garibaldi Thohir didaulat sebagai Ketua Ikatan Keluarga Alumni SMA Negeri 3 Teladan Jakarta (IKA Teladan) menggantikan…
Ahli Bidang Teknik Mesin dari Universitas Diponegoro, Mochammad Aryanto PhD mengungkapkan pembelajaran kecerdasan buatan (AI) di tingkat dasar memiliki…
Kementerian Sosial (Kemensos) mengatakan sebanyak 53 Kepala Sekolah Rakyat mengikuti retret yang diselenggarakan di Pusdiklatbangprof Kemensos, Jakarta Selatan mulai dari…