Zakat Bukan Sekadar Bantuan, Melainkan Sistem Ekonomi Islam yang Keberadaan Institusinya Perlu Sampai ke Desa

Oleh: Dr. Aan Zainul Anwar, M.E.Sy (Dosen Unisnu Jepara – Kepala Cabang NU Care Lazisnu Jepara)

Zakat sering kali dipahami secara sempit oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk bantuan karitatif semata, sebuah tindakan memberi kepada yang membutuhkan. Meskipun aspek kemanusiaan ini benar adanya, membatasi makna zakat hanya pada level tersebut berarti mengabaikan potensi besarnya sebagai salah satu pilar utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat, pada hakikatnya, adalah sebuah mekanisme terstruktur yang dirancang untuk mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, yang pengelolaannya menuntut kehadiran institusi yang kuat (negara) dan terpercaya hingga ke level akar rumput, yakni desa/kelurahan.

Pandangan zakat sebagai sistem ekonomi ditegaskan oleh banyak pakar. Yusuf Qardhawi dalam Fiqh az-Zakat, menekankan bahwa zakat bukanlah sekadar sedekah sukarela, melainkan kewajiban terstruktur dengan nisab, haul, kadar, dan sasaran distribusi (asnaf) yang jelas, menjadikannya instrumen fiskal unik dalam Islam. Sehingga, zakat berfungsi sebagai instrumen redistribusi kekayaan yang sistematis untuk mengurangi kesenjangan dan memenuhi kebutuhan dasar kelompok rentan.

Di Indonesia, amanah pengelolaan zakat secara institusional diemban oleh BAZNAS, BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten, BAZNAS Kota, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapat izin resmi. Keberadaan institusi ini krusial untuk memastikan profesionalitas, akuntabilitas, dan efektivitas pengelolaan zakat. Keberadaan BAZNAS sebagai amil yang dibentuk negara tidak cukup hanya berada pada level kabupaten/kota, namun perlu hingga level desa/kelurahan. Oleh karena itu, pada Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 disusun untuk mengakomodasi pengelolaan zakat hingga ke level desa melalui pembentukan UPZ.

Menurut saya ini adalah langkah yang amat tepat. Hal ini karena desa merupakan kantong kemiskinan sekaligus basis masyarakat agraris di Indonesia. Potensi zakat, baik dari hasil pertanian maupun dari para muzaki yang tinggal atau berasal dari desa, sering kali belum tergarap optimal oleh lembaga resmi. Di sisi lain, mustahik di pedesaan membutuhkan akses yang mudah dan terpercaya terhadap hak mereka.

Berangkat dari hal itu pula saya tertarik menulis disertasi doktoral tentang zakat pertanian di salah satu desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yaitu Desa Jatisono, yang pengelolaan zakatnya oleh UPZ BAZNAS mampu menghimpun 45–50 ton gabah atau setara sekitar 300 juta rupiah lebih per tahun untuk satu jenis zakat, yaitu pertanian. Contoh best practice lain adalah keberadaan UPZ Desa Maparah di Kabupaten Ciamis yang berhasil menghimpun rata-rata dana zakat masyarakat sekitar 28 juta rupiah per bulan atau 336 juta setiap tahun untuk berbagai jenis zakat dengan berbagai program pemberdayaan seperti Istana Anak Yatim, dan pemberdayaan UMKM desa.

Kita membayangkan setiap desa di Indonesia mengelola zakat sebesar 300 juta per tahun, maka potensi zakat sebesar 327 triliun bukan suatu yang mustahil terealisasi, dan mampu menjadikan kemiskinan di desa tidak ada lagi. Sehingga saya heran—dan mungkin pembaca juga heran—ketika ada segelintir orang yang berupaya menghapuskan peran, fungsi, dan keberadaan BAZNAS pada tingkat provinsi, kabupaten, hingga akar rumput tingkat desa dengan UPZ-nya, menuntut untuk dihapuskan dari UU Zakat melalui Mahkamah Konstitusi (MK), padahal UPZ di berbagai desa telah memberikan bukti nyata melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Maka, berdasarkan fenomena tersebut, justru saya berharap—dan kita semua berharap—keberadaan BAZNAS perlu diperkuat hingga level desa/kelurahan dan tentunya bersinergi serta berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk LAZ resmi yang memiliki basis massa pada akar rumput seperti LAZISNU, LAZISMU, dan LAZ ormas lainnya.

Penguatan Peran UPZ BAZNAS
Keberhasilan UPZ BAZNAS Desa Jatisono dan juga UPZ Desa Maparah dalam mengelola zakat tidak lepas dari peran berbagai pihak. UPZ sebagai unit amil dari institusi amil negara dibentuk oleh kepala desa dan disahkan sebagai amil resmi oleh BAZNAS kabupaten setempat. Peran kepala desa sebagai pimpinan masyarakat suatu desa memiliki peran besar dalam keberhasilan penghimpunan zakat, terutama melalui surat keputusan kepala desa atau bahkan peraturan desa yang mengarahkan atau mewajibkan warganya untuk menunaikan zakat melalui UPZ BAZNAS atau LAZ resmi pada tingkat desa.
Kenapa harus ada pilihan LAZ resmi, terutama LAZ ormas? Sebab tipologi masyarakat perdesaan berbeda-beda. Bagi masyarakat yang memiliki kecenderungan terhadap ormas keagamaan, maka akan cenderung menunaikan melalui LAZ ormas. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kecenderungan terhadap ormas keagamaan, maka dapat menunaikan zakatnya melalui UPZ BAZNAS. Kolaborasi pengelolaan zakat di tingkat desa ini akan membawa desa semakin maju dan sejahtera.

Kolaborasi amil zakat resmi di tingkat desa adalah sebagai upaya memaksimalkan potensi zakat. Gambaran kinerja pengumpulan 300 juta per tahun di Desa Jatisono di atas tersebut baru dari zakat pertanian saja, belum termasuk zakat lainnya seperti zakat perniagaan, profesi, zakat fitrah, dan lainnya. Begitu juga dengan UPZ BAZNAS di Desa Maparah, Ciamis, dengan kinerja pengumpulan dan penyaluran yang begitu baik. Maka, BAZNAS sebagai amil negara yang berperanan sebagai koordinator memiliki peran penting dalam mentabulasi secara keseluruhan dana ZIS DSKL hingga level desa. Pembagian subjek zakat pada masyarakat pedesaan dikoordinasikan antara UPZ BAZNAS dan LAZ ormas tingkat desa. Dengan koordinasi hingga unit terkecil ini, sekali lagi, bukan mustahil potensi zakat akan tercapai.

Koordinasi selama ini dilakukan antara BAZNAS dan LAZ baru sebatas tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman saya, itu pun belum menyentuh berbagai aspek zakat secara mendetail pada masyarakat, baik subjek penghimpunan maupun objek pendistribusian zakat termasuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat jangka panjang berkelanjutan. Maka, fungsi koordinasi perlu lebih ditingkatkan dan diperluas hingga tataran desa, dan sekali lagi, BAZNAS hadir sebagai koordinator tingkat desa. Maka, ironis jika kemudian terdapat kelompok yang menggugat peran dan fungsi BAZNAS sebagai pengelola zakat di MK.

Kesimpulannya, memandang zakat sebagai sistem ekonomi Islam yang integral meniscayakan adanya pengelolaan yang profesional dan terinstitusionalisasi. Penguatan BAZNAS, khususnya dalam memperluas jangkauan pelayanannya hingga ke desa-desa, adalah sebuah keharusan. Hanya dengan institusi yang kuat, akuntabel, dan merata kehadirannya, zakat dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai instrumen keadilan sosial dan pilar kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar bantuan sesaat. Kehadiran BAZNAS di desa adalah kunci untuk mewujudkan potensi penuh sistem ekonomi Islam ini.

BERITA TERKAIT

Panen Raya Padi di Kabupaten Purbalingga, BAZNAS RI Dorong Kemandirian Ekonomi Petani Lokal

Neraca, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI melakukan panen raya padi bersama para petani binaan Program Lumbung Pangan BAZNAS di…

PRODUKSI BIJI KOPI TUMBUH PADA AWAL TAHUN 2025

PRODUKSI BIJI KOPI TUMBUH PADA AWAL TAHUN 2025 : Pekerja memanggang kopi di Pasar Santa, Jakarta, Senin (5/5/2025). Asosiasi Eksportir…

REALISASI SERAPAN BERAS PETANI

REALISASI SERAPAN BERAS PETANI : Sejumlah  pekerja menata karung berisi beras di gudang penyimpanan  Perum Bulog Kanwil Aceh, desa Siron,…

BERITA LAINNYA DI Berita Foto

Panen Raya Padi di Kabupaten Purbalingga, BAZNAS RI Dorong Kemandirian Ekonomi Petani Lokal

Neraca, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI melakukan panen raya padi bersama para petani binaan Program Lumbung Pangan BAZNAS di…

PRODUKSI BIJI KOPI TUMBUH PADA AWAL TAHUN 2025

PRODUKSI BIJI KOPI TUMBUH PADA AWAL TAHUN 2025 : Pekerja memanggang kopi di Pasar Santa, Jakarta, Senin (5/5/2025). Asosiasi Eksportir…

REALISASI SERAPAN BERAS PETANI

REALISASI SERAPAN BERAS PETANI : Sejumlah  pekerja menata karung berisi beras di gudang penyimpanan  Perum Bulog Kanwil Aceh, desa Siron,…