PENELITI FEB UNIVERSITAS BRAWIJAYA: - Tarif CHT Naik, Rokok Ilegal Kian Marak

Jakarta-Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang, Imanina Eka Dalilah mewanti-wanti agar pemerintah perlu berpikir secara moderat sebelum menerapkan kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mendatang. Pasalnya, setiap kenaikan tarif CHT perlu diiringi peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok yang diduga memproduksi rokok ilegal.

NERACA

Imanina mengingatkan implikasi yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan CHT. Misalnya, dampak ekonomi dan sosial ke masyarakat. Sebab, kebijakan CHT ini bukan soal pendapatan negara maupun kesehatan semata. "Banyak yang bakal terdampak dari kebijakan CHT di Indonesia, mulai dari tenaga kerja, industri, hingga pertanian," kata Imanina dikutip, Senin (19/8).

Berdasarkan hasil kajian PPKE FEB UB (2023), peningkatan tarif CHT tidak serta merta menurunkan minat merokok masyarakat. Namun justru konsumen cenderung mencari produk rokok yang harganya dianggap memenuhi kemampuan daya belinya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menyampaikan pidato Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di Gedung DPR RI, Senayan, Jumat (16/08/2024). Di dalam dokumen Nota Keuangan, menyatakan penerimaan cukai dalam RAPBN tahun anggaran 2025 diperkirakan sebesar Rp244.198,4 miliar atau tumbuh 5,9 persen (setara Rp244,2 Triliun).

Oleh sebab itu, setiap kenaikan tarif CHT perlu diiringi peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok yang diduga memproduksi rokok ilegal. "Penurunan volume produksi rokok karena merebaknya rokok ilegal tentu merugikan negara," tegasnya.

Diketahui, Ditjen Bea dan Cukai mencatat tingkat peredaran rokok ilegal tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86%. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.

Menurut Imanina, penyebab meningkatnya rokok ilegal dikarenakan kenaikan harga rokok yang telah cukup tinggi disertai dengan kenaikan tarif CHT yang terus meningkat setiap tahunnya.

Hal ini mendorong perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok yang terjadi. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 70% perokok di Indonesia berasal dari keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah. "Sebagian perokok di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya.

Merujuk hasil kajian sementara PPKE FEB UB (2024), bahwa rokok ilegal tahun 2023 kontributor terbesarnya dari rokok ilegal jenis polosan dan salah peruntukan (saltuk). Tingginya rokok ilegal jenis polosan mengindikasikan bahwa kenaikan harga rokok yang sudah sangat tinggi.

Imanina menambahkan, rokok ilegal terutama yang polosan, seringkali dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan rokok legal. "Hal tersebut menarik bagi konsumen dari berbagai lapisan, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, yang mencari alternatif lebih murah tanpa menyadari atau mengabaikan risiko kesehatan," tutur Imanina.

Dia mengungkapkan, hasil kajian juga menyatakan tingginya rokok ilegal jenis salah peruntukan (saltuk) mengindikasikan bahwa masih kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. "Pasalnya, rokok dengan saltuk menunjukkan adanya manipulasi dalam pelaporan jenis atau tujuan distribusi rokok untuk menghindari tarif cukai yang lebih tinggi," tegas Imanina.

Dalam konteks inilah, Imanina mendorong pemerintah perlu melibatkan para pemangku kepentingan dalam merumuskan arah kebijakan CHT mendatang. "Sebab, kenaikan cukai yang diputuskan secara tidak berimbang akan berpotensi besar mendorong angka inflasi di Indonesia menjadi semakin dalam," katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, mengungkapkan situasi yang tidak baik-baik saja bagi iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional. Beban yang dihadapi IHT legal, mulai kenaikan CHT yang eksesif, serta padatnya regulasi (heavy regulated).

Pada titik inilah, Gappri memberikan tiga catatan penting untuk pemerintah.Pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7%.

"IHT legal yang sudah berkontribusi besar untuk penerimaan negara (CHT), menyerap tenaga kerja linting yang mayoritas perempuan (padat karya), selain itu rokok konvensional sebagian besar menggunakan bahan baku dalam negeri (TKDN).

Kedua, Gappri berharap pemerintah tidak melakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak. "Gappri juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," tegas Henry Najoan.

Ketiga, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur. Mengingat saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat. "GAPPRI mengharapkan Aparat Penegak Hukum (APH) agar terus menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary sehingga rokok ilegal bisa ditekan dan dihilangkan," ujarnya.

Pedagang Terdampak

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai, titik masalahnya ada pada peredaran rokok ilegal, bukan pada pelaku usaha yang menjual rokok. Mengingat, sudah ada batasan aturan soal penjualan rokok resmi, sementara rokok ilegal masih marak beredar.

 “Kami sudah tidak menjual produk tembakau ke anak di bawah usia 21 tahun, sudah berjalan selama ini. Tapi, masalahnya saat ini adalah banyaknya rokok ilegal yang murah dan mudah didapat. Ini yang mestinya dibasmi, bukan di jualannya," tegas Roy seperti dikutip Liputan6.com, Rabu (14/8).

Menurut Roy, pembatasan penjualan rokok dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah cukup ketat. Ia khawatir jika aturan baru ini diterapkan, maka akan ada lebih banyak pasal karet yang menambah kompleksitas peraturan dan tidak menyelesaikan masalah terkait rokok ilegal.

Aturan baru yang disinggung Roy adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan itu menyoroti prevalensi perokok anak dan remaja yang meningkat.

"Nah ini (rokok ilegal) yang mestinya dibasmi yang mestinya diangka, dibongkar bukan di jualannya, di hilirnya tapi di hulunya pabrik ilegalnya. Karena pabriknya ada. Kalau mau tau kita semua tau, pabrik yang ilegalnya ini kenapa enggak digulung tikat gitu. Malah hilirnya yang mau dibuat seperti itu (dibatasi)," tegas dia.

Roy mencatat, pembatasan itu akan berpengaruh pada aspek makro ekonomi. Misalnya, pada target pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat penopangnya masih dari konsumsi rumah tangga. "Apapun yang berkaitan dengan pelarangan, secara luas itu pasti memberikan dampak untuk ekonomi. Tanpa adanya contingency plan, ekonomi pasti akan tergerus,” imbuhnya.

Sebelumnya, Pemerintah membatasi penjualan rokok eceran hingga zonasi dari pusat pendidikan dan lokasi permainan anak. Namun, kebijakan ini dinilai malah merugikan pelaku UMKM, pedagang warung, hingga pedagang pasar.

Informasi, ketentuan pembatasan penjualan rokok itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Aturan itu diharapkan bisa menurunkan tingkat perokok anak. Sayangnya, pelaku UMKM memandang dampak lain dari aturan tersebut. Salah satunya soal kekhawatiran anjloknya pendapatan pelaku usaha dari larangan penjualan rokok.

"Kami di Jatim khususnya, ada 900 lebih koperasi ritel dan juga 2.050 toko lokal yang mereka rata-rata mengandalkan omzet dari pejualan rokok. Banyak anggota koperasi yang mereka mengandalkan penjualan rokok karena kontribusi omzetnya mencapai 50 persen," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dam Ritel Indonesia, Anang Zunaedi dalam diskusi media, pekan lalu. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

KAJIAN TIM INDEF: - Pertumbuhan Turun, Alarm Ekonomi Indonesia

  Jakarta-Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat, fakta pertumbuhan ekonomi yang turun sebagai salah satu tanda atau…

OJK INGATKAN PERSIAPAN INTERNAL - Prospek IPO Masih Positif di Tengah Pasar Volatil

NERACA Jakarta- Masih berfluktuasinya kondisi pasar akibat dampak dari perlambatan ekonomi global dan perang dagang AS, memberikan khawatiran dampak minat…

Konflik India-Pakistan Tak Ganggu Ekspor Batu Bara

NERACA Jakarta – Perang dua negara bersaudara India dan Pakistan memberikan dampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Namun demikian, menurut…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KAJIAN TIM INDEF: - Pertumbuhan Turun, Alarm Ekonomi Indonesia

  Jakarta-Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat, fakta pertumbuhan ekonomi yang turun sebagai salah satu tanda atau…

OJK INGATKAN PERSIAPAN INTERNAL - Prospek IPO Masih Positif di Tengah Pasar Volatil

NERACA Jakarta- Masih berfluktuasinya kondisi pasar akibat dampak dari perlambatan ekonomi global dan perang dagang AS, memberikan khawatiran dampak minat…

Konflik India-Pakistan Tak Ganggu Ekspor Batu Bara

NERACA Jakarta – Perang dua negara bersaudara India dan Pakistan memberikan dampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Namun demikian, menurut…

Berita Terpopuler