Barang Kebutuhan Pokok Dibebaskan PPN

Oleh : Wahyu Hadi Wibowo SE, Penyuluh Pajak KPP Pratama Pulogadung *)

Di tengah gejolak harga bahan pangan yang belakangan ini bergerak naik, masyarakat tentu merasa galau dan merasa memberatkan beban ekonomi keluarga, terlebih menjelang suasana Natal dan Tahun Baru 2024. Salah satunya faktor kenaikan harga adalah isu pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok di dalam negeri. Berbagai polemik di media massa sempat menimbulkan banyak keluhan baik dari kalangan pedagang maupun warga masyarakat.

Namun, Kementerian Keuangan pernah mengeluarkan siaran persnya nomor SP – 39 /KLI/2022 tanggal 31 Maret 2022 menyatakan barang kebutuhan pokok Tetap Diberikan Fasilitas Bebas PPN hingga saat ini keterangan Kemenkeu tersebut masih berlaku.

Adapun jenis barang kebutuhan pokok berdasarkan Peraturan Presiden No. 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting antara lain : a) barang kebutuhan pokok hasil pertanian, meliputi beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabe, dan bawang merah. b) barang kebutuhan pokok hasil industri, terdiri : gula, minyak goreng, tepung terigu. c) barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan,seperti : daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang.

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2022, Pemerintah menetapkan barang yang bersifat strategis termasuk barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pengenaan PPN. Barang dimaksud mencakup barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi, serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.

Patut diketahui, meski pemerintah mengubah status barang kebutuhan pokok menjadi barang kena pajak (BKP) dan terhutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pengusaha (kecuali skala pengusaha kecil) yang terlibat dalam produksi, distribusi dan pemasaran barang kebutuhan pokok, maka harus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Walau statusnya dibebaskan, pengusaha harus tetap melaksanakan kewajiban administrasi PPN.

Perubahan status barang kebutuhan pokok tertuang dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam pasal 4A ayat 2 huruf b, Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yakni barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut : (barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak) dihapus. Artinya, barang kebutuhan pokok berubah statusnya menjadi BKP.

Sebelum adanya UU HPP, barang kebutuhan pokok tidak dikenai PPN.  Sampai dengan perubahan ketentuan PPN yang keempat yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Klaster Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan), ketentuan dalam pasal 4A ayat 2 huruf b tersebut masih ada. Artinya, barang kebutuhan pokok bukan objek pajak PPN.

Dalam PMK 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok masih berstatus bukan BKP sehingga tidak dikenai PPN. Jenis barang kebutuhan pokok meliputi: beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, gula konsumsi,  dan ikan.

Adapun jenis barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain seperti barang dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.

Kewajiban Sisi Pengusaha

Kalangan pengusaha yang terkait barang kebutuhan pokok yang telah memenuhi syarat menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus melaksanakan kewajiban PPN sejak mulai berlakunya UU HPP yaitu mulai 1 April 2022, dimana semua aktitivitas pembelian dan penjualan harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN.

Pengusaha yang melakukan penyerahan barang atau jasa objek PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan Barang objek PPN.

Skala pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar. Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maka wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau Pajak PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya.

PKP harus membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak pada saat melakukan penyerahan atau menerima pembayaran mana yang lebih dulu. Sesuai PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Dirjen Pajak No. Per-03/Pj/2022 Tentang Faktur Pajak, atas penyerahan Barang atau jasa objek PPN yang PPN terhutang tidak dipungut menggunakan kode faktur 07, sedangkan PPN terhutang yang dibebaskan memakai kode 08. Kemudian PKP harus melaporkan seluruh transaksi penyerahannya dalam SPT Masa PPN. Pelaporan SPT tersebut secara on line melalui https://www.pajak.go.id/ sebelum akhir bulan berikutnya.

Di sisi lain, PPN terutang pada saat penyerahan atau pembayaran mana yang lebih dahulu atas transaksi penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, ekspor JKP, ekspor BKP berwujud dan tidak berwujud, pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP di luar daerah pabean.

Dalam praktik pungutan PPN, terdapat fasilitas dari pemerintah atas objek pajak tertentu berupa fasilitas PPN dibebaskan. Fasilitas ini meliputi barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) dan diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Pemberian fasilitas PPN dibebaskan ini artinya, suatu objek pajak dibebaskan dari pengenaan atau pungutan PPN atas penyerahannya..

PPN dibebaskan berarti memang tidak dikenakan PPN atau memang tidak ada tarif. Sedangkan untuk PPN tidak dipungut terdapat tariff PPN 0%. Sebenarnya dikenakan PPN tetapi diberikan fasilitas 0%. Keduanya tidak perlu membayar PPN, namun terdapat perbedaan perlakukan pengkreditan pajak.

Dalam hal PPN tidak dipungut, atas PPN (masukan) yang dibayar atau dipungut pada mata rantai sebelumnya dapat dikreditkan (pasal 16B (2) UU PPN). Sedangkan PPN dibebaskan sesuai pasal 16B (3), PKP tidak dapat mengkreditkan. PPN Masukan adalah pajak yang dikenakan pada saat PKP membeli barang atau jasa yang merupakan objek PPN. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Langkah Tegas Berantas Judi Daring Berhasil Tekan Jumlah Deposit

    Oleh: Aldo Setiawan Fikri, Analis Ekonomi Makro   Pemerintah terus menunjukkan keseriusannya dalam memerangi praktik judi daring yang…

Pemerintah Dorong Percepatan Pembahasan RUU Perampasan Aset

  Oleh : Andhika Utama, Pengamat Sosial Politik     Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang…

Ekonomi RI Tetap Tangguh di Tengah Tren Pelemahan Ekonomi Global

  Oleh: Dewi Widyaningrum, Pemerhati Kebijakan Publik      Dalam lanskap perekonomian global yang kian tidak menentu, Indonesia menunjukkan ketangguhan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tunjangan Guru: Bentuk Kepedulian Pemerintah dalam Dunia Pendidikan

  Oleh: Ivan Aditya, Pemerhati Pendidikan.    Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa yang berkualitas. Dalam ekosistem…

Gerak Cepat Pemerintah Merespon Kebijakan Tarif Impor Trump

Oleh: Farhan Farisan, Mahasiswa PTS di Bandung     Pemerintah menunjukkan respons cepat dan strategis dalam menghadapi dampak kebijakan tarif impor…

Konferensi PUIC: Pertegas Peran Indonesia di Mata Dunia Internasional

  Oleh : Jodi Mahendra,  Pengamat Hubungan Internasional   Indonesia kembali menunjukkan kiprahnya di panggung diplomasi global dengan menjadi tuan…

Berita Terpopuler