Ekonom : Kereta Cepat Jakarta"Bandung Jadi Beban APBN

NERACA

Jakarta - Proyek Kereta Cepat Indonesia mengalami fenomena yang mungkin terjadi di Indonesia sebagaimana dialami Taiwan. Pengalaman Taiwan 5 tahun beroperasi kemudian akhirnya di nasionalisasi. Nombok terus tidak pernah break even, tidak bisa menutup biaya operasi setiap tahun dan akhirnya di nasionalisasi.

Demikian disampaikan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, dalam seminar yang diselenggarakan secara hybrid di Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh M. Ikhsan, Selasa (17/10).

“Nah Proyek Kereta Cepat indonesia juga kemungkinan besar dinasionalisasi, seluruh bebannya ditanggung negara. Karena investor enggak mau lagi, China akan keluar nantinya jadi nanti 100% milik Indonesia. Dan Indonesia bayar cicilannya terus-terusan gitu, diinjeksi terus dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN ) karena sudah di nasionalisasi. Ini berakibat proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) akan membebani  APBN ” papar Faisal.

Seperti diketahui, sebelumnya proyek KCJB direncanakan akan menelan biaya sebesar USD6,07 miliar. Namun, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) mencapai USD1,44 miliar atau setara setara Rp21,4 triliun.

Pembiayaan beban cost overrun tersebut dibagi dua antara Indonesia dan China. Di mana sebesar 25 persen akan dipenuhi oleh konsorsium Indonesia atau sebesar Rp3,2 triliun, sedangkan konsorsium China 40 persen atau sebesar Rp2,1 triliun dan 75 persennya atau senilai Rp16 triliun berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB).

“Most likely, akan membebani APBN, selamanya. Seperti PSO (public service obligation) yang diberikan setiap tahun Rp2 triliun untuk angkutan Jabodetabek kita itu PSO tidak pernah dinaikan, tapi justify. Tapi ini (KCIC) sama sekali tidak justify seperti yang dikatakan,” ujar Faisal.

Sehingga, kata Faisal, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/2023, agar mengubah ruang APBN untuk menjadi jaminan atas utang tersebut. Semula, penjaminan utang tersebut adalah dengan skema business to business (B to B) atau tanpa jaminan pemerintah.

“Karena udah jelas kelihatan seperti itu, maka harus ada landasan hukum untuk mengubah ruang dari APBN, maka keluarlah Permenkeu itu seolah-olah ini prudent segala macam, ada tim ada macam-macam itu, untuk menutupi. Ini melanggar kaidah-kaidah dasar, ini katanya publik transport kita bisa dapet PSO, Jokowi maunya gitu, ternyata UU ditabrak, gak jadi,” ungkapnya.

Dalam hal ini, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.

Aturan tersebut digunakan untuk menjadi penjaminan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap kreditur berdasarkan perjanjian pinjaman. Kewajiban finansial ini terdiri atas pokok pinjaman, bunga pinjaman, dan/atau biaya lain yang timbul, sehubungan dengan Perjanjian Pinjaman.

Selain itu, Faisal Basri menyatakan bahwa awalnya proyek ini lebih sebagai proyek properti dengan PT. Wijaya Karya dan PT. KAI sebagai pemimpinnya, dan akhirnya tidak lagi business to business.

Faisal juga membuat perhitungan simulasi sederhana tanpa ongkos operasi dengan total nilai investasi Rp. 114,4 Triliun dan pendapatan penumpang tiap tahun 2,369 triliun maka perhitungan balik modal adalah selama 33 tahun dan bahkan bisa mencapai 139 tahun.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina menyatakan bahwa proyek ini awal mulanya digagas era Presiden SBY pada tahun 2009-2014, dengan melibatkan Japan International Corporation Agency (JICA) dalam studi kelayakan.

“Studi dilakukan untuk membangun kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, dengan jarak sepanjang 748 km. Dengan biaya diperkirakan 100 Triliun. Pada tahun 2015 pemerintah akhirnya memutuskan untuk membangun rute awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung terlebih dahulu, sepanjang 150 km yang nilai awal proyeknya diperkirakan sebesar senilai Rp 67 triliun.” jelasnya.

Menurut Handi, bahwa pada awalnya Jepang menawarkan pinjaman proyek kereta api cepat sebesar US$ 6,2 miliar dengan masa waktu 40 tahun dan tingkat bunga 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Dengan Syarat harus ada jaminan dari Pemerintah. “Kemudian China menawarkan pinjaman proyek sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Skema Business to Business (B to B) tanpa jaminan dari Pemerintah. Disinilah dilihat inkonsistensi pemerintah, sehingga mau tidak mau dibiayai oleh APBN.” tandasnya. agus

BERITA TERKAIT

DI SAAT DAYA BELI MELEMAH - Meski Positif, Risiko Paylater Gagal Bayar Diwaspadai

  Jakarta-Meski paylater bisa menjadi sinyal positif dari sisi inovasi keuangan dan inklusi, penggunaannya yang meningkat juga bisa menjadi sinyal…

WACANA LEGALISASI KASINO SEBAGAI PNBP - MUI : Bertentangan dengan UU dan Norma Masyarakat

NERACA Jakarta - Isu legalisasi kasino kembali mencuat dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu.…

Jaga Iklim Investasi, Kadin Bentuk Tim Verifikasi dan Etik

    NERACA Jakarta – Iklim investasi di Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Tak hanya soal organisasi masyarakat (ormas) yang…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Jaga Iklim Investasi, Kadin Bentuk Tim Verifikasi dan Etik

    NERACA Jakarta – Iklim investasi di Indonesia tengah menjadi sorotan publik. Tak hanya soal organisasi masyarakat (ormas) yang…

PHK DI PERUSAHAAN GLOBAL: - Bisa Berdampak Terjadi di Indonesia

  Jakarta-Pengamat ketenagakerjaan mengatakan,  pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di perusahaan global, termasuk di Panasonic Holdings Corp bisa berdampak…

KAJIAN TIM INDEF: - Pertumbuhan Turun, Alarm Ekonomi Indonesia

  Jakarta-Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat, fakta pertumbuhan ekonomi yang turun sebagai salah satu tanda atau…