24 Regulasi Membebani Biaya Logistik Beras dan Kedelai

24 Regulasi Membebani Biaya Logistik Beras dan Kedelai
NERACA
Jakarta – Penelitian CIPS dan Samudera Indonesia mengidentifikasi 24 peraturan dari sembilan proses dan biaya logistik yang membebani konsumen. Pengeluaran logistik beras dan kedelai dipengaruhi oleh regulasi yang mempengaruhi biaya logistik terkait pergudangan, pengapalan, dan angkutan truk.
“Rantai logistik beras dan kedelai yang panjang membuat ongkos logistik kedua komoditas ini besar, terlebih dengan regulasi-regulasi yang menambah beban biaya logistik harusnya bisa diminimalisir,” jelas Head of Agriculture Research, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, seperti dikutip dalam keterangannya. 
Biaya logistik menyumbang 28–40% dari Margin Perdagangan dan pengangkutan (MPP) untuk beras. Selanjutnya, biaya transportasi merupakan penyumbang terbesar biaya logistik beras, yaitu sebesar 84,62% dari total biaya logistik di tingkat produsen dan 90,77% dari total biaya logistik di tingkat distributor/grosir/pengecer, berdasarkan Data Kementerian Perdagangan 2021.
Sementara itu, untuk kedelai impor (sebagian besar kedelai Indonesia berasal dari impor), biaya logistik menguasai proporsi MPP tertinggi untuk importir (88,96%) dibandingkan grosir dan pengecer (78,54%). Biaya transportasi merupakan sebagian besar biaya logistik untuk grosir dan pengecer (78,14%), tetapi hanya 29,20% dari biaya importir. Distribusi beras rumit karena produksi beras terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara konsumsinya tinggi di seluruh Indonesia. Kedelai didominasi impor dan harus menghadapi tantangan logistik impor dan logistik domestik.
Di tingkat nasional, logistik berkontribusi antara 21–23% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Biaya transportasi dan persediaan mendominasi biaya logistik di Indonesia. Aditya menilai, selain biaya pengangkutan, biaya logistik juga meliputi biaya administrasi, seperti ongkos pelabuhan.  “Biaya administrasi ini berkontribusi kurang dari 6%, sehingga biaya logistik yang tinggi dibebankan kepada konsumen, menaikkan harga barang, termasuk makanan pokok,” ujarnya.
Ia menambahkan, transportasi darat (truk) merupakan kontributor terbesar untuk biaya transportasi, yang dapat dikaitkan dengan biaya moneter dan waktu akibat pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan proses pengiriman barang menggunakan transportasi darat (truk). Untuk mengurangi dampak regulasi terhadap biaya logistik beras dan kedelai, penelitian CIPS dan Samudera Indonesia merekomendasikan beberapa perubahan. 
Ekonom PT Samudera Indonesia Adithya Prabowo menilai, perlu upaya untuk integrasi sistem dengan otoritas kepabeanan di negara pengekspor kedelai untuk mempersingkat waktu penerbitan surat keterangan asal dalam proses impor dan bea cukai. 
Adithya  Prabowo melanjutkan, metode karantina khusus yang menggunakan kapal karantina atau laboratorium terapung harus ditetapkan oleh Kementerian Pertanian agar proses dapat dimulai sebelum kapal memasuki pelabuhan.
Kewajiban penggunaan jasa angkutan barang lokal harus dilonggarkan untuk memungkinkan perusahaan di luar daerah setempat untuk melakukan pengiriman barang ketika layanan tidak tersedia di daerah tersebut. Yang terakhir adalah insentif, seperti subsidi bunga, untuk membeli atau melepaskan stok pangan yang harus disediakan baik untuk publik (Bulog dan BUMN pangan) dan swasta, dalam kebijakan cadangan pangan.
“Program pengurangan biaya logistik sebagian besar difokuskan pada penghapusan disparitas harga barang kebutuhan pokok antara wilayah barat dan timur Indonesia. Meminimalkan disparitas ini membutuhkan upaya yang lebih banyak karena kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan ketimpangan dalam pembangunan ekonomi,” tambah Adithya Prabowo.
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui penetapan ambang batas produktivitas pelayanan pelabuhan sebagai standar pelayanan yang diberikan. Ambang batas ini dapat menjadi dasar bagi Pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelabuhan yang dapat bertahan dalam ambang batas tersebut. 
Skema ini diharapkan dapat mendorong pelabuhan untuk menawarkan tarif dan kualitas pelayanan pelabuhan yang kompetitif. Secara tidak langsung, peningkatan kualitas layanan akan ikut terangkat dan berdampak pada layanan pelabuhan secara keseluruhan.

 

NERACA

Jakarta – Penelitian CIPS dan Samudera Indonesia mengidentifikasi 24 peraturan dari sembilan proses dan biaya logistik yang membebani konsumen. Pengeluaran logistik beras dan kedelai dipengaruhi oleh regulasi yang mempengaruhi biaya logistik terkait pergudangan, pengapalan, dan angkutan truk.

“Rantai logistik beras dan kedelai yang panjang membuat ongkos logistik kedua komoditas ini besar, terlebih dengan regulasi-regulasi yang menambah beban biaya logistik harusnya bisa diminimalisir,” jelas Head of Agriculture Research, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, seperti dikutip dalam keterangannya. 

Biaya logistik menyumbang 28–40% dari Margin Perdagangan dan pengangkutan (MPP) untuk beras. Selanjutnya, biaya transportasi merupakan penyumbang terbesar biaya logistik beras, yaitu sebesar 84,62% dari total biaya logistik di tingkat produsen dan 90,77% dari total biaya logistik di tingkat distributor/grosir/pengecer, berdasarkan Data Kementerian Perdagangan 2021.

Sementara itu, untuk kedelai impor (sebagian besar kedelai Indonesia berasal dari impor), biaya logistik menguasai proporsi MPP tertinggi untuk importir (88,96%) dibandingkan grosir dan pengecer (78,54%). Biaya transportasi merupakan sebagian besar biaya logistik untuk grosir dan pengecer (78,14%), tetapi hanya 29,20% dari biaya importir. Distribusi beras rumit karena produksi beras terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara konsumsinya tinggi di seluruh Indonesia. Kedelai didominasi impor dan harus menghadapi tantangan logistik impor dan logistik domestik.

Di tingkat nasional, logistik berkontribusi antara 21–23% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Biaya transportasi dan persediaan mendominasi biaya logistik di Indonesia. Aditya menilai, selain biaya pengangkutan, biaya logistik juga meliputi biaya administrasi, seperti ongkos pelabuhan.  “Biaya administrasi ini berkontribusi kurang dari 6%, sehingga biaya logistik yang tinggi dibebankan kepada konsumen, menaikkan harga barang, termasuk makanan pokok,” ujarnya.

Ia menambahkan, transportasi darat (truk) merupakan kontributor terbesar untuk biaya transportasi, yang dapat dikaitkan dengan biaya moneter dan waktu akibat pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan proses pengiriman barang menggunakan transportasi darat (truk). Untuk mengurangi dampak regulasi terhadap biaya logistik beras dan kedelai, penelitian CIPS dan Samudera Indonesia merekomendasikan beberapa perubahan. 

Ekonom PT Samudera Indonesia Adithya Prabowo menilai, perlu upaya untuk integrasi sistem dengan otoritas kepabeanan di negara pengekspor kedelai untuk mempersingkat waktu penerbitan surat keterangan asal dalam proses impor dan bea cukai. Adithya  Prabowo melanjutkan, metode karantina khusus yang menggunakan kapal karantina atau laboratorium terapung harus ditetapkan oleh Kementerian Pertanian agar proses dapat dimulai sebelum kapal memasuki pelabuhan.

Kewajiban penggunaan jasa angkutan barang lokal harus dilonggarkan untuk memungkinkan perusahaan di luar daerah setempat untuk melakukan pengiriman barang ketika layanan tidak tersedia di daerah tersebut. Yang terakhir adalah insentif, seperti subsidi bunga, untuk membeli atau melepaskan stok pangan yang harus disediakan baik untuk publik (Bulog dan BUMN pangan) dan swasta, dalam kebijakan cadangan pangan.

“Program pengurangan biaya logistik sebagian besar difokuskan pada penghapusan disparitas harga barang kebutuhan pokok antara wilayah barat dan timur Indonesia. Meminimalkan disparitas ini membutuhkan upaya yang lebih banyak karena kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan ketimpangan dalam pembangunan ekonomi,” tambah Adithya Prabowo.

Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui penetapan ambang batas produktivitas pelayanan pelabuhan sebagai standar pelayanan yang diberikan. Ambang batas ini dapat menjadi dasar bagi Pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelabuhan yang dapat bertahan dalam ambang batas tersebut.

Skema ini diharapkan dapat mendorong pelabuhan untuk menawarkan tarif dan kualitas pelayanan pelabuhan yang kompetitif. Secara tidak langsung, peningkatan kualitas layanan akan ikut terangkat dan berdampak pada layanan pelabuhan secara keseluruhan.

 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Kementan Siap Gelar ToT, Gerakan Antisipasi Darurat Pangan Nasional

NERACA Jakarta - Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian [BPPSDMP] Kementerian Pertanian RI siap menggelar Training of Trainers…

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…