FMCG Insight: Potensi BPA pada Galon AMDK Bukan Hoaks

 

FMCG Insight: Potensi BPA pada Galon AMDK Bukan Hoaks
 NERACA
Jakarta - Sebuah artikel berjudul “Ada Gaduh Perang Galon di Balik Isu BPA” yang terbit di Bisnis.com pada 1 Februari 2023 secara tidak langsung menuding FMCG Insights menyebarkan hoaks karena FMCG Insights ikut mendukung pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang (plastik keras polikarbonat). 
Menurut  Koordinator Advokasi FMCG Insights Willy Hanafi, sebelum mengangkat isu hoaks terkait potensi bahaya kesehatan yang diakibatkan senyawa kimia BPA pada AMDK galon guna ulang, artikel Bisnis.com itu berpandangan bahwa persoalan bahaya BPA mengandung unsur persaingan usaha. “Pendapat itu absah saja karena nyaris di setiap persoalan bisnis selalu ada dua unsur yang tarik-menarik: kesehatan masyarakat (dan kelestarian lingkungan) versus kepentingan komersial,” tegas Willy seperti dikutip dalam keterangan. 
Dalam bisnis makanan dan minuman, misalnya, banyak kalangan saat ini mempersoalkan potensi bahaya minuman berpemanis dalam kemasan. Mereka mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan. 
Meskipun pemerintah telah merencanakan kebijakan itu dalam APBN 2023, tapi pelaksanaannya ditunda karena faktor ekonomi: pemerintah khawatir kebijakan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi di sektor industri bersangkutan. ”Jadi, sekali lagi akan selalu ada tarik menarik antara kepentingan kesehatan publik dengan kepentingan komersial,” katanya.
Dalam konteks tersebut, sambung Willy, FMCG Insights memiliki pendapat dan pandangan berdasarkan diskusi kami dengan ahli ekonomi dan bisnis dari Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio. 
Menurut Pak Ibus—demikian beliau biasa disapa—apabila telah ada “eksternalitas negatif” dari suatu aktivitas bisnis, pemerintah harus mengintervensi pasar meskipun intervensi itu bisa saja merugikan bisnis. Eksternalitas negatif dari konsumsi AMDK galon guna ulang adalah terpaparnya konsumen kepada BPA dalam jangka panjang. 
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Badan Pengawas Obat dan Makanan (institusi negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi keamanan obat dan makanan) telah melakukan survei terhadap AMDK galon guna ulang, baik di sarana produksi, distribusi maupun penyimpanan, selama 2021-2022. 
Hasil survei lapangan itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran “tidak memenuhi syarat” batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj. 
Dari hasil survei yang sama, BPOM bahkan juga mengungkap bahwa bahwa TDI (tolerable daily intake—jumlah asupan senyawa kimia yang aman bagi manusia dalam jangka panjang) BPA di empat kabupaten dan kota telah melebihi angka 100 persen, atau melampaui ambang batas aman 4 mikogram per kilogram berat badan per hari.
Nah, atas dasar survei lapangan itulah dan dalam rangka memberi perlindungan kepada masyarakat sesuai tugas dan fungsinya, BPOM berinisiatif mengatur pelabelan AMDK pada kemasan AMDK galon guna ulang dengan merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Jadi, setelah mengidentifikasi adanya potensi eksternalitas negatif, negara melalui BPOM bertindak dengan melakukan intervensi.
”Apakah akan ada bisnis yang dirugikan oleh rencana kebijakan BPOM itu? Tentu saja ada, tetapi negara melalui BPOM harus memilih kepentingan publik vis a vis kepentingan komersial,” papar Willy.
Selain itu, menurut pandangannya, dalam jangka panjang, revisi Peraturan BPOM tersebut—yang berisi kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang—justru bisa menyehatkan persaingan usaha. 
Ini karena konsumen akan makin sadar dengan kesehatannya dan produsen akan berinovasi agar produknya bisa diterima konsumen yang makin sadar itu (mengubah kemasan galon plastik keras ke kemasan lain yang lebih aman). 
”Peraturan BPOM itu, menurut kami, juga bisa melindungi market dari kegagalan akibat adanya potensi gugatan masyarakat yang terkena dampak dari paparan BPA di masa depan,” kata Willy.
Dengan mengutip pernyataan Astari Yanuarti, Co-founder Indonesian Antihoax Education Volunteers (REDAXI), artikel di Bisnis.com tersebut secara tidak langsung menuding FMCG Insights dan lembaga-lembaga lain yang mendukung pelabelan BPA pada galon guna ulang sebagai penyebar hoaks. 
Pernyataan Astari “Penyebaran hoaks itu tidak hanya dilakukan oleh buzzer, tapi semua orang bisa menjadi penyebar hoaks secara sadar maupun tidak” diposisikan setelah artikel tersebut menyebut satu demi satu nama lembaga yang menyuarakan pelabelan BPA. 
Artikel Bisnis.com itu kemudian juga menyebut pendukung pelabelan BPA sebagai “kelompok-kelompok penyebar hoaks yang ingin menjatuhkan pasar galon guna ulang”.
Willy mengaskan, meskipun tidak jelas bagian mana dari isu BPA yang disebut hoaks oleh artikel Bisnis.com, kami akan menjawab apakah berita atau kabar tentang potensi bahaya kesehatan BPA sama sekali tidak berdasar atau malah sebaliknya: didukung bukti-bukti ilmiah. 

 

 

 NERACA


Jakarta - Sebuah artikel berjudul “Ada Gaduh Perang Galon di Balik Isu BPA” yang terbit di Bisnis.com pada 1 Februari 2023 secara tidak langsung menuding FMCG Insights menyebarkan hoaks karena FMCG Insights ikut mendukung pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang (plastik keras polikarbonat). 

Menurut  Koordinator Advokasi FMCG Insights Willy Hanafi, sebelum mengangkat isu hoaks terkait potensi bahaya kesehatan yang diakibatkan senyawa kimia BPA pada AMDK galon guna ulang, artikel Bisnis.com itu berpandangan bahwa persoalan bahaya BPA mengandung unsur persaingan usaha. “Pendapat itu absah saja karena nyaris di setiap persoalan bisnis selalu ada dua unsur yang tarik-menarik: kesehatan masyarakat (dan kelestarian lingkungan) versus kepentingan komersial,” tegas Willy seperti dikutip dalam keterangan. 

Dalam bisnis makanan dan minuman, misalnya, banyak kalangan saat ini mempersoalkan potensi bahaya minuman berpemanis dalam kemasan. Mereka mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan. 

Meskipun pemerintah telah merencanakan kebijakan itu dalam APBN 2023, tapi pelaksanaannya ditunda karena faktor ekonomi: pemerintah khawatir kebijakan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi di sektor industri bersangkutan. ”Jadi, sekali lagi akan selalu ada tarik menarik antara kepentingan kesehatan publik dengan kepentingan komersial,” katanya.

Dalam konteks tersebut, sambung Willy, FMCG Insights memiliki pendapat dan pandangan berdasarkan diskusi kami dengan ahli ekonomi dan bisnis dari Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio. 

Menurut Pak Ibus—demikian beliau biasa disapa—apabila telah ada “eksternalitas negatif” dari suatu aktivitas bisnis, pemerintah harus mengintervensi pasar meskipun intervensi itu bisa saja merugikan bisnis. Eksternalitas negatif dari konsumsi AMDK galon guna ulang adalah terpaparnya konsumen kepada BPA dalam jangka panjang. 

Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Badan Pengawas Obat dan Makanan (institusi negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi keamanan obat dan makanan) telah melakukan survei terhadap AMDK galon guna ulang, baik di sarana produksi, distribusi maupun penyimpanan, selama 2021-2022. 

Hasil survei lapangan itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran “tidak memenuhi syarat” batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj. 

Dari hasil survei yang sama, BPOM bahkan juga mengungkap bahwa bahwa TDI (tolerable daily intake—jumlah asupan senyawa kimia yang aman bagi manusia dalam jangka panjang) BPA di empat kabupaten dan kota telah melebihi angka 100 persen, atau melampaui ambang batas aman 4 mikogram per kilogram berat badan per hari.

Nah, atas dasar survei lapangan itulah dan dalam rangka memberi perlindungan kepada masyarakat sesuai tugas dan fungsinya, BPOM berinisiatif mengatur pelabelan AMDK pada kemasan AMDK galon guna ulang dengan merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Jadi, setelah mengidentifikasi adanya potensi eksternalitas negatif, negara melalui BPOM bertindak dengan melakukan intervensi.

”Apakah akan ada bisnis yang dirugikan oleh rencana kebijakan BPOM itu? Tentu saja ada, tetapi negara melalui BPOM harus memilih kepentingan publik vis a vis kepentingan komersial,” papar Willy.

Selain itu, menurut pandangannya, dalam jangka panjang, revisi Peraturan BPOM tersebut—yang berisi kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang—justru bisa menyehatkan persaingan usaha. 

Ini karena konsumen akan makin sadar dengan kesehatannya dan produsen akan berinovasi agar produknya bisa diterima konsumen yang makin sadar itu (mengubah kemasan galon plastik keras ke kemasan lain yang lebih aman). 

”Peraturan BPOM itu, menurut kami, juga bisa melindungi market dari kegagalan akibat adanya potensi gugatan masyarakat yang terkena dampak dari paparan BPA di masa depan,” kata Willy.

Dengan mengutip pernyataan Astari Yanuarti, Co-founder Indonesian Antihoax Education Volunteers (REDAXI), artikel di Bisnis.com tersebut secara tidak langsung menuding FMCG Insights dan lembaga-lembaga lain yang mendukung pelabelan BPA pada galon guna ulang sebagai penyebar hoaks.

Pernyataan Astari “Penyebaran hoaks itu tidak hanya dilakukan oleh buzzer, tapi semua orang bisa menjadi penyebar hoaks secara sadar maupun tidak” diposisikan setelah artikel tersebut menyebut satu demi satu nama lembaga yang menyuarakan pelabelan BPA. 

Artikel Bisnis.com itu kemudian juga menyebut pendukung pelabelan BPA sebagai “kelompok-kelompok penyebar hoaks yang ingin menjatuhkan pasar galon guna ulang”.

Willy mengaskan, meskipun tidak jelas bagian mana dari isu BPA yang disebut hoaks oleh artikel Bisnis.com, kami akan menjawab apakah berita atau kabar tentang potensi bahaya kesehatan BPA sama sekali tidak berdasar atau malah sebaliknya: didukung bukti-bukti ilmiah. 

BERITA TERKAIT

Vina Panduwinata Gandeng Brand Lokal Melawan Diabetes

Kasus diabetes di Indonesia kini kian jadi masalah serius. Menurut International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai…

Agar Stamina Terjaga Saat Puasa - Penting Pahami Pola Nutrisi Sehat Saat Sahur dan Berbuka

Konsumsi masyarakat saat puasa Ramadan menjadi dua kali lipat, maka penting bagi masyarakat untuk menjaga stamina dengan apa yang dikonsumsi.…

Garmin Rayakan Hari Perempuan - Kampanyekan Jiwa Raga Bugar Lewat Run Like A Girl

Dalam rangka merayakan International Women’s Day 2024, pemimpin smartwatch GPS multisport yang inovatif, Garmin menyelenggarakan perayaan meriah di Indonesia pada…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Vina Panduwinata Gandeng Brand Lokal Melawan Diabetes

Kasus diabetes di Indonesia kini kian jadi masalah serius. Menurut International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai…

Agar Stamina Terjaga Saat Puasa - Penting Pahami Pola Nutrisi Sehat Saat Sahur dan Berbuka

Konsumsi masyarakat saat puasa Ramadan menjadi dua kali lipat, maka penting bagi masyarakat untuk menjaga stamina dengan apa yang dikonsumsi.…

Garmin Rayakan Hari Perempuan - Kampanyekan Jiwa Raga Bugar Lewat Run Like A Girl

Dalam rangka merayakan International Women’s Day 2024, pemimpin smartwatch GPS multisport yang inovatif, Garmin menyelenggarakan perayaan meriah di Indonesia pada…