NERACA
Jakarta - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto berpendapat pelaksanaan demokratisasi menjadi salah satu solusi mengatasi tindak pidana korupsi yang masih banyak terjadi di sektor desa, terutama melibatkan kepala desa terkait penyelewengan dana desa.
“Nah, tentu bukan berarti solusinya adalah menghapus dana desa melainkan mendorong bagaimana demokratisasi membuat tatanan kehidupan di desa itu terjadi,” ujar Agus saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk “Peran Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi”, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Sahabat ICW di Jakarta, dikutip Antara, kemarin.
Menurut dia, pelaksanaan demokratisasi atau proses menjadikan penyelenggaraan pemerintahan di desa lebih demokratis akan mengoptimalkan kontrol dari warga desa terhadap para aparat desa, khususnya kepala desa sehingga penyelewengan anggaran atau dana desa dapat dicegah.
Agus mengatakan demokratisasi di desa dapat membuat warga setempat mampu memperoleh informasi mengenai kinerja aparat desa dan berkesempatan mengawasi pembangunan desa agar dapat berjalan dengan baik.
Hal yang disampaikan Agus tersebut tidak terlepas dari hasil pemantauan ICW terhadap penindakan kasus korupsi pada semester I tahun 2022 atau periode 1 Januari-30 Juni 2022 oleh aparat penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan RI, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.
Agus menyampaikan berdasarkan hasil pantauan ICW yang dimuat dalam Laporan Tren Penindakan Korupsi Semester I Tahun 2022 yang telah diluncurkan pada Minggu (20/11) diketahui kasus tindak pidana korupsi paling banyak terjadi di sektor desa atau anggaran dana desa. Jumlah kasus korupsi di sektor desa berjumlah 62 kasus dari total temuan 252 kasus dengan potensi kerugian keuangan negara sebanyak Rp289 miliar.
Di urutan berikutnya ada sektor utilitas sebanyak 46 kasus, pemerintahan 25 kasus, sumber daya alam 15 kasus, kesehatan 14 kasus, pendidikan 14 kasus, agraria 10 kasus, perbankan 10 kasus, transportasi 9 kasus, sektor sosial kemasyarakatan 9 kasus, dan sektor lainnya 38 kasus.
Dengan demikian, ICW pada kesempatan itu telah mendorong pemerintah untuk melakukan pemantauan, kontrol, dan evaluasi secara ketat terhadap penggunaan anggaran desa.
Larangan Eks Narapidana Jadi Caleg
Kemudian Agus mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 terkait larangan bagi mantan narapidana, termasuk narapidana kasus korupsi, menjadi calon anggota legislatif (caleg) selama lima tahun pasca-dibebaskan dari penjara.
"Ada informasi yang cukup membahagiakan, MK baru saja memutus eks terpidana kasus korupsi tidak boleh mencalonkan diri sebagai anggota parlemen sampai jeda lima tahun. Menurut saya, ini seperti air ketika kita dahaga. Menurut saya, ini suatu kemenangan kecil yang patut kita apresiasi," ujar Agus.
Lebih lanjut, ia menilai mantan narapidana, terutama narapidana kasus korupsi sudah sepatutnya tidak diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif sebagai salah satu langkah memberikan efek jera terhadap para koruptor.
"Kalau sudah dipidana penjara, harus diberikan sanksi jangan diberikan langsung kepercayaan untuk ikut serta kembali dalam kontestasi politik karena persoalan di Indonesia itu lagi-lagi kita belum punya efek jera yang cukup dan kuat," ujar Agus.
Di samping itu, ia menambahkan efek jera bagi para koruptor di Tanah Air pun belum cukup kuat karena Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset belum disahkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, pemiskinan yang semestinya dapat memberikan efek jera terhadap para koruptor belum bisa pula diterapkan.
Sebelumnya pada Rabu (30/11), MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Siahaan.
Permohonan yang dikabulkan tersebut terkait dengan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun sejak ia dibebaskan atau keluar dari penjara.
Menurut MK, norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi beberapa persyaratan.
Di antaranya, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Dengan diterimanya sebagian permohonan pemohon, MK mewajibkan negara untuk mengubah ketentuan tersebut menjadi sebagai berikut.
Satu, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Dua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
Berikutnya yang ketiga, mereka bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Ant
NERACA Jakarta - Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa Dalam…
NERACA Jakarta - Praktisi hukum sekaligus aktivis pemuda Affandi Affan menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas Kementerian Pelindungan Pekerja Migran…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion meminta Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum untuk memberikan kemudahan…
NERACA Jakarta - Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa Dalam…
NERACA Jakarta - Praktisi hukum sekaligus aktivis pemuda Affandi Affan menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas Kementerian Pelindungan Pekerja Migran…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion meminta Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum untuk memberikan kemudahan…