Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)
Isu pemanasan global sepertinya sudah menjadi agenda bersama yang harus segera diatasi. Seluruh negara kemudian berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam penanganan isu tersebut. Cara pendekatannya pun berbeda-beda sesuai dengan keunggulan dan competitiveness masing-masing negara. Untuk negara yang dilimpahi keunggulan penguasaan teknologi, tentu menggunakan jargon pertumbuhan hijau (green growth) sebagai jualan utama demi mendapatkan double benefit. Sebaliknya bagi negara yang masih mengandalkan kekayaan sumber daya alam (SDA) semata, mencegah bencana yang lebih kompleks sekaligus menyelamatkan generasi masa depan menjadi tema terbaik di tengah keterbatasan investasi dan teknologi. Jangan lupakan juga peran dimensi politik internasional sangat mewarnai skenario pilihan yang diputuskan termasuk perubahan kebijakan pasca pergantian kepemimpinan nasional.
Publik tentu masih ingat ketika Presiden Joe Biden mengganti secara dramatis kebijakan Amerika Serikat (AS) terkait isu pemanasan global dengan mengusung jargon Nett Zero Emission (NZE). NZE ini merupakan bentuk pelebihan komitmen negara yang sebelumnya sudah diagendakan dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC) 2030. Dalam perjalanannya, banyak pemerintah beserta dengan korporasi menyatakan target NZE masing-masing seiring dengan update NDC dan Long Terms Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 ke UNFCCC. Menanggapi perubahan kebijakan AS tersebut, negara-negara Uni Eropa (EU) mendeklarasikan dokumen EU-Green Deal yang menargetkan pengurangan emisi hingga 55% di 2030 sekaligus mempelopori EU menjadi benua yang pertama menerapkan carbon neutral di 2050.
Apa Manfaat CBAM?
Di tengah pusaran global yang masih berperang menghadapi isu pandemi Covid-19 yang belum menentu kapan selesainya, ambisi EU-Green Deal tentu akan menghadapi banyak tantangan dan hambatan. Terlebih ketika masuk dalam pembahasan isu detail: bagaimana cara dan intervensi yang akan dilakukan untuk mengeskalasi prinsip Green Deal secara menyeluruh. Salah satu usulan yang sudah mulai dibahas di Komisi Eropa adalah skema carbon border adjustment mechanism (CBAM). CBAM atau dikenal dengan istilah pungutan karbon perbatasan dimaksudkan sebagai salah satu upaya bagi EU dalam menciptakan level pasar (playing field) yang sama dengan korporasi di luar EU dari sisi produksi karbon. CBAM juga difungsikan sebagai alat mencegah terjadinya pelarian karbon (carbon-leakage) ketika perusahaan EU memindahkan proses produksinya keluar wilayah EU.
Menurut skema yang diusulkan, CBAM akan mewajibkan perusahaan importir EU untuk membeli sertifikat karbon yang harganya setara dengan nilai karbon jika barang tersebut ternyata dapat diproduksi internal EU. Namun demikian, jika nantinya produsen non-EU sudah membayar karbon setara proses produksi, maka korporasi dimungkinkan untuk meminta pengembalian pungutan/restitusi karbon. Program restitusi karbon inilah yang diharapkan mampu menjadi gula-gula pemanis agar perusahaan mau bergabung dalam program CBAM. Sebagai konsep awal, CBAM direncanakan secara bertahap dimulai dari 2023 dan beroperasi secara penuh di 2026. Tidak seluruh sektor akan jadi sasaran awal dari CBAM ini, dengan mempertimbangkan kesiapan serta modalitas yang ada. Beberapa sektor yang disasar di awal diantaranya: semen, besi, baja, alumunium dan pupuk dengan kemungkinan perluasan dikemudian hari.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dampak bagi Indonesia jika nantinya usulan CBAM ini kemudian disahkan oleh Komisi Eropa ? Di saat bersamaan, AS juga menggagas ide yang sama dalam bentuk pengenaan pajak impor karbon ? Dalam perspektif penulis, estimasi dampak ini tentu menjadi bahasan yang menarik dan wajib dipertimbangkan secara seksama oleh pemerintah. Lebih menariknya lagi jika dikaitkan dengan kesiapan Indonesia sendiri dalam membentuk ekosistem carbon market domestik. Diskusi tentang carbon market sendiri, dibedakan menjadi item berbasis perdagangan dan non-perdagangan. Item perdagangan akan disupport via carbon trading sebagai komponen utama selain pendekatan lelang emisi dan carbon offset, sementara item non-perdagangan akan didominasi oleh skema carbon tax.
Menurut jenis dasar pembentukan, carbon trading dibedakan menjadi pasar sukarela (voluntary) dan pasar wajib (mandatory). Pasar sukarela dibentuk dengan misi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) semata dan bukan karena adanya kewajiban tertentu. Sebaliknya, jika ada program yang mewajibkan pengurangan dan pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) maka jenis pasar yang terbentuk adalah pasar wajib (mandatory). Pasar wajib ini diwujudkan sebagai bentuk pelaksanaan program dan kebijakan sebuah negara akibat ratifikasi sebuah komitmen seperti Kyoto Protocol atau Perjanjian Paris.
Di dalam dokumen NDC Indonesia, disebutkan target penurunan emisi GRK 29% dengan pendanaan biasa dan 41% dengan bantuan internasional. Ini memperlihatkan betapa pentingnya peran pendanaan non-pemerintah sebagai akselerator dana APBN/APBD, dimana salah satunya melalui pengembangan carbon market ini. Penyiapan carbon market yang baik, akan sangat membantu beban pemerintah sekaligus membantu kesiapan menghadapi berbagai usulan skema karbon internasional baik dalam bentuk CBAM, pajak karbon impor ataupun skema-skema lainnya yang nanti pasti akan banyak bermunculan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh : Gavin Asadit, Pengamat Perkoperasian Pemerintah Indonesia terus mengakselerasi program strategis nasional berupa pembentukan Koperasi Merah Putih…
Oleh: Argustian Pramudy, Pemerhati Hukum Pemerintah terus menunjukkan ketegasannya dalam menghadapi maraknya perdagangan ilegal yang merugikan negara…
Oleh: Andhika Rachman, Pengamat Lingkungan Memasuki pertengahan tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan klasik yang…
Oleh : Gavin Asadit, Pengamat Perkoperasian Pemerintah Indonesia terus mengakselerasi program strategis nasional berupa pembentukan Koperasi Merah Putih…
Oleh: Argustian Pramudy, Pemerhati Hukum Pemerintah terus menunjukkan ketegasannya dalam menghadapi maraknya perdagangan ilegal yang merugikan negara…
Oleh: Andhika Rachman, Pengamat Lingkungan Memasuki pertengahan tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan klasik yang…