WAKETUM DPP KNPI CAHYO GANI SAPUTRO: - Kebutuhan Primer Rakyat Jangan Dipajaki

Jakarta-Wakil Ketua Umum DPP KNPI Cahyo Gani Saputro mengingatkan pembentuk UU bahwa sembako adalah kebutuhan primer rakyat sehingga jangan dipajaki. Pasalnya, masih ada komoditas lainnya yang harus dipajaki seperti kebutuhan sekunder atau tersier.  Sementara itu, Menurut Direktur CELIOS Bhima Yudhistira, pemerintah sedang bunuh diri. Dia menilai tega-teganya pemerintah mematok PPN terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat.

NERACA

Pemerintah melalui Draf Revisi Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), dan akan dibahas bersama DPR tahun ini merupakan agenda reformasi pajak, sehingga menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2021.

Dalam draf revisi kelima RUU Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 4A draft RUU KUP tersebut, pemerintah menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN diantaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Artinya sembako juga akan dikenakan PPN.  

Adapun barang sembako dimaksud  diatur dalam Permenkeu No. 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi. “Jikalau sembako ini di pajaki bukan hanya pedagang kecil yang terdampak, namun juga petani peternak juga terkena dampaknya,” ujar Cahyo, pekan ini.

Selain itu, Pemerintah juga akan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah. Ini tertuang dalam revisi UU Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, pemerintah sedang bunuh diri. Dia menilai tega-teganya pemerintah mematok PPN terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat. "Pemerintah sepertinya sedang melakukan bunuh diri ekonomi tahun depan. Momentum pemulihan ekonomi justru diganggu kebijakan pemerintah sendiri," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (9/6).

Kalau barang kebutuhan pokok dikenakan PPN, maka otomatis harga jualnya akan naik. Sebab, pengusaha biasanya membebankan biaya PPN kepada konsumen. "Kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok mendorong inflasi," tutur dia.

Apabila inflasi tinggi, artinya harga barang-barang naik. Hal ini jelas akan menekan daya beli masyarakat. Masyarakat akan mengurangi belanjanya. Alhasil, tingkat konsumsi rumah tangga semakin melemah, sehingga akan berdampak negatif terhadap ekonomi nasional.

Jika aturan ini diketok dan berlaku tahun depan, jangan harap target pertumbuhan ekonomi 5% pada 2022 akan terwujud. Ekonomi tidak akan pernah bisa bergerak signifikan ketika konsumsi masyarakat tertekan. "Masyarakat akan mengurangi belanja, bahkan berhemat. (Ekonomi Indonesia) bisa lebih rendah ke level 2-4%,” tegas Bhima.

Parahnya lagi, kenaikan harga barang pokok karena PPN juga berpotensi mengerek tingkat kemiskinan di dalam negeri. Mengingat, 73% penyumbang garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. "Artinya sedikit saja harga pangan naik, maka jumlah penduduk miskin akan bertambah," ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin tembus 27,55 juta pada September 2020, atau setara dengan 10,19% dari total populasi nasional. Populasi penduduk miskin meningkat dari sebelumnya 26,42 juta pada Maret 2020. Begitu juga dari sisi tingkat kemiskinan, meningkat dari sebelumnya 9,78% pada periode yang sama.

Selain itu, dalam rancangan revisi UU KUP diketahui bahwa jasa pendidikan akan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN jika revisi KUP 'diketok'. Jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN.

Dalam Pasal 2 disebutkan kelompok jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN adalah jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.

Lalu, jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah juga tak dikenai PPN. Hal ini termasuk jasa pendidikan non formal dan pendidikan formal. Dalam Pasal 4 dijelaskan rincian jasa penyelenggaraan pendidikan, baik yang formal, non formal, dan informal.

Untuk pendidikan formal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Untuk jasa penyelenggaraan pendidikan non formal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan. Kemudian, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, dan pendidikan kesetaraan.

Lalu, jasa penyelenggaraan pendidikan informal terdiri dari jasa penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Patut diketahui bahwa semua jenis jasa pendidikan tersebut masih belum dikenai PPN saat ini. Namun, jika revisi KUP disetujui DPR, maka berpotensi dikenai PPN.

Memberatkan Masyarakat

Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi PKS Anis Byarwati mengritik rencana pengenaan terhadap barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dalam perubahan UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Menurut dia, langkah tersebut berpotensi makin memberatkan kehidupan masyarakat bawah dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah menekan ketimpangan melalui reformasi perpajakan dalam revisi UU KUP. "Kalau itu dihilangkan (dari kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN) jelas merugikan, karena barang kebutuhan pokok kan untuk masyarakat banyak. Kalau jadi objek pajak harganya akan jadi tinggi," ujarnya, Selasa (8/6).

Dia menilai seharusnya pemerintah justru menambah objek barang tak kena pajak yang merupakan kebutuhan masyarakat kelas bawah. Ini penting agar harga-harga jadi turun dan masyarakat yang paling terdampak pandemi Covid-19 bisa membaik kondisi perekonomiannya.

"Jangan dibikin naik, daya beli kan sedang susah. Kalau daya beli ditekan konsumsi rumah tangga akan turun, kalau konsumsi turun berarti pendapatan pemerintah juga akan turun. Di satu sisi pajak-pajak kalangan menengah kan diobral. Jangan sampai kebijakan perpajakan kontraproduktif," ujarnya.

Meski demikian, secara umum dia mendukung usulan UU KUP sebagai bagian dari strategi reformasi perpajakan. Dia sendiri mengaku belum melihat langsung secara keseluruhan draf RUU yang diusulkan pemerintah tersebut. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

PRESIDEN JOKOWI: - Anggaran Jangan Banyak Dipakai Rapat dan Studi Banding

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menekankan kepada kepala daerah agar tidak menggunakan anggaran untuk agenda rapat dan…

BPS MENGUNGKAPKAN: - Pertumbuhan Kuartal I Tembus 5,11 Persen

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen di kuartal I-2024 ini. Adapun penopang utama pertumbuhan ekonomi…

Inggris Jajaki Berinvestasi di KEK

NERACA London – Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga mengundang para investor dan pelaku usaha di Inggris untuk menjajaki peluang kerja…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PRESIDEN JOKOWI: - Anggaran Jangan Banyak Dipakai Rapat dan Studi Banding

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menekankan kepada kepala daerah agar tidak menggunakan anggaran untuk agenda rapat dan…

BPS MENGUNGKAPKAN: - Pertumbuhan Kuartal I Tembus 5,11 Persen

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen di kuartal I-2024 ini. Adapun penopang utama pertumbuhan ekonomi…

Inggris Jajaki Berinvestasi di KEK

NERACA London – Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga mengundang para investor dan pelaku usaha di Inggris untuk menjajaki peluang kerja…