Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Kabar hangat muncul dari industri galangan kapal Korea Selatan. Diberitakan, dua raksasa dalam bisnis galangan kapal Negeri Ginseng, yaitu Hyundai Heavy Industries (HHI) dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), akan bergabung menjadi satu entitas. Penggabungan itu bakal membuat perusahaan hasil merger sebagai galangan terbesar di dunia dengan penguasaan pasar mencapai 20 persen dari pesanan kapal baru atau new building order dunia.
Integrasi kedua shipyard tersebut bermula dari memburuknya kondisi keuangan DSME; kondisi yang sebetulnya sudah terjadi selama lebih satu dekade belakangan. Alhasil, Korean Development Bank (KDB), pemegang saham pengendali galangan itu, memutuskan untuk melegonya kepada pihak yang berminat agar pendarahan di tubuh korporasi tidak makin parah. Ambil contoh pada 2008. Bank milik pemerintah Korea Selatan itu melelang DSME dan penawaran ini diminati oleh konsorsium yang dipimpin oleh Hanwha Engineering & Construction.
Konsorsium keluar dengan nilai penawaran seharga AS$ 5,4 milyar yang langsung disetujui oleh KDB. Sayang sekali, Hanwha Engineering dan konco-konconya dalam konsorsium gagal membayar pembelian yang telah disepakati karena dunia pada tahun itu dihajar krisis keuangan. Dan, penjualan DSME pun akhirnya dibatalkan. Kini, Hyundai Heavy Industries (HHI) berniat membeli DSME dan proposalnya tengah dipelajari oleh berbagai kalangan untuk disetujui, termasuk enam negara yang memiliki bisnis galangan skala jumbo seperti Cina, Uni Eropa, Jepang, Kazakhstan, Singapura dan Korea Selatan sendiri.
Lantas, bagaimana memaknai aksi korporasi yang tengah berlangsung dalam bisnis galangan di Korea Selatan itu? Sehingga, bisa dipetik pelajaran (lesson learned) khususnya bagi galangan di Indonesia yang pada derajat tertentu memiliki kesamaan dengan perusahaan di Korsel.
Pertama, galangan kapal merupakan industri strategis bagi Korsel sehingga kesulitan yang dihadapi oleh pelaku usahanya – rata-rata merupakan perusahaan swasta – akan dibantu sepenuhnya oleh negara melalui ‘tangan-tangan’nya, dalam hal ini bank pelat merah. Tak jelas apakah Negeri Ginseng ini memiliki visi/doktrin Poros Maritim Dunia seperti Indonesia untuk memiliki komitmen yang kuat terhadap keberlanjutan usaha galangan kapalnya. Yang jelas, bila seorang pengusaha pelayaran ingin membangun kapal, Korsel adalah pilihannya. Dalam bahasa lain, Korsel merupakan kiblat atau poros bisnis shipyard dunia.
Kedua, sektor perbankan/lembaga keuangan Korsel memahami ship financing dengan sangat baik dan perannya bagi sebesar-besar kemaslahatan pengusaha kemaritiman nasional. Terkait dengan ini, perbankan Negeri Ginseng hanya mengenakan suku bunga rendah (di bawah 10 persen) untuk pelaku usaha kemaritiman. Fasilitas ini juga diberikan kepada pengusaha asing yang berbisnis dengan mitra Korsel, misalnya membangun kapal di galangan setempat.
Ketiga, keseriusan dalam melakukan research and development (R&D) dalam teknologi dan pembangunan kapal serta peralatan maritime lainnya.
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang besar bila…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Situasi perekonomian global sedang mengalami tekanan yang berat, terutama dipicu oleh kebijakan…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Menapaki akhir semester I 2025 tidak bisa…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang besar bila…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Situasi perekonomian global sedang mengalami tekanan yang berat, terutama dipicu oleh kebijakan…