NERACA
Jakarta - Analis pasar modal menilai kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN yang memburuk selama 2020 selain dari penurunan konsumsi gas akibat pandemi Covid-19 juga dipengaruhi kebijakan penetapan harga gas bumi enam dolar AS per MMBTU kepada industri tertentu sejak April 2020.
Analis pasar modal dari Finvesol Consulting, Fendi Susiyanto dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin mengatakan, masuk akal jika kerugian PGN akibat harga gas enam dolar AS per MMBTU bisa mencapai 100 juta dolar AS. Pasalnya, mayoritas pengguna gas PGN adalah penerima manfaat harga gas itu. “Sementara pemerintah tidak memberikan insentif ataupun subsidi sesuai yang diamanatkan dalam regulasi. Situasi sangat merugikan PGN, termasuk investornya di pasar modal,”ungkapnya.
Disampaikan Fendi, dari kaca mata investor, salah satu hal penting yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan investasi saham adalah melihat model bisnis (business model) dengan potensi margin yang menguntungkan. Hal itu menjadi faktor pendorong nilai perusahaan akan meningkat jangka panjang. Secara model bisnis, lanjut Fendi, PGN sebenarnya merupakan emiten dengan fundamental dan prospek bisnis yang menarik. Sebagai inisiator dan pengembang infrastruktur gas bumi, PGN saat ini menguasai lebih dari 80% jaringan gas bumi di seluruh Indonesia.
Namun dari total produksi gas nasional sebanyak 6.889 BBTUD, PGN mentransportasikan gas sebesar 1.930 BBTUD, sekitar 28% dan baru mengalirkan niaga gas sekitar 900 BBTUD atau sekitar 15%. Sayangnya sebagai anak usaha BUMN, PGN mendapatkan perlakuan berbeda dibandingkan BUMN. Dengan komponen harga jual dipatok enam dolar AS, sementara komponen biaya realitasnya lebih tinggi. tanpa memperoleh subsidi maka kerugian sulit untuk dihindari.
Fendi mencontohkan, perlakuan berbeda pemerintah terhadap PT PLN (Persero) yang mendapatkan subsidi listrik. Bahkan, sejak 2015 beberapa BUMN konstruksi mendapatkan suntikan dana melalui penyertaan modal negara (PMN) untuk mengembangkan berbagai infrastruktur. Sementara kepada PGN, yang selama ini mengembangkan infrastruktur gas bumi sebagai energi untuk mengurangi energi impor, tak ada bantuan dari pemerintah.
Menurut Fendi, jika alasannya sebagian saham PGN dimiliki asing, hal itu tidak masuk akal. Dikotomi asing dan nonasing ini tidak positif untuk mendorong pasar modal Indonesia semakin atraktif. Karena banyak BUMN yang mendapat PMN triliunan rupiah, sahamnya di pasar modal juga dikuasai oleh investor asing.
Secara umum, Fendi menghitung harga saham perusahaan berkode PGAS ini secara fundamental dari price to value bagus sekali. Namun, dari price to earning ratio justru negatif. Ini menunjukkan secara fundamental kuat, tapi ada dua faktor utama yang menjadi value destroyer bagi saham PGAS saat ini. Pertama, margin bisnis yang terbatas karena harga jual dipatok enam dolar AS. Kedua, adalah sengketa kasus putusan PPN gas bumi dengan DJP Kemenkeu.
NERACA Jakarta -Pengusaha properti asal Indonesia, Iwan Sunito melalui perusahaan barunya, One Global Capital menggelar roadshow bertajuk “Invest Like a…
NERACA Jakarta – Meski dihadapkan masih lemahnya daya beli masyarakat, namun emiten pariwisata PT Bayu Buana Tbk. (BAYU) mengaku optimis…
NERACA Jakarta- Di kuartal pertama 2025, PT Bank Seabank Indonesia berhasil membukukan laba sebelum pajak sebesar Rp124 miliar dengan laba…
NERACA Jakarta -Pengusaha properti asal Indonesia, Iwan Sunito melalui perusahaan barunya, One Global Capital menggelar roadshow bertajuk “Invest Like a…
NERACA Jakarta – Meski dihadapkan masih lemahnya daya beli masyarakat, namun emiten pariwisata PT Bayu Buana Tbk. (BAYU) mengaku optimis…
NERACA Jakarta- Di kuartal pertama 2025, PT Bank Seabank Indonesia berhasil membukukan laba sebelum pajak sebesar Rp124 miliar dengan laba…