Manfaat ELN?

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

ELN (Ekosistem Logistik Nasional) kini menjadi kata yang bergaung kencang dalam labirin perlogistikan nasional sejak diberlakukannya Inpres Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional pertengahan Juni tahun lalu. Karenanya ini barang baru. Tentu masih banyak celah yang perlu dilengkapi agar ia dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan. Apalagi tenggat waktu yang diberikan oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2020 hingga ELN bisa berjalan sepenuhnya masih sekitar empat tahun ke depan. Waktu yang ada dimanfaatkan untuk memotret seluruh proses bisnis yang ada dalam pelayaran peti kemas.

Pandangan kalangan pelayaran menilai ELN tidak atau belum dapat diintegrasikan ke dalam bisnis mereka karena masing-masing pelaku usaha sudah memiliki platform digital sendiri. Karena pelayaran dalam negeri ini hanya agen dari operator internasional itu berarti sistem digital yang digunakan langsung dari server di luar negeri di sana. Agen hanya dibagi password saja oleh principal-nya, tidak bisa memutuskan bergabung atau tidak ke dalam ELN.

Salah satu menu/item dalam jaringan atau platform digital adalah bill of lading (B/L). Antara sistem Teknologi Informasi (TI) principal dengan platform yang ada di Indonesia, terutama dengan sistem yang dikelola oleh pemerintah semisal Indonesia National Single Window, tidak bisa ‘berkomunikasi’ akhirnya tak terhindarkan B/L tetap dalam format aslinya berupa dokumen kertas. Inilah alasan mengapa bisnis pelayaran domestik masih belum sepenuhnya paperless.

Konosemen – Bahasa Indonesia untuk bill of lading – yang masih konvensional tadi mengakibatkan proses yang terkait dengannya, misalnya pembayaran-pembayaran biaya/tagihan, juga tidak sepenuhnya bisa digital. Ditambah tidak semua kantor di pelabuhan, bank khususnya, yang beroperasi 24/7 lengkaplah sudah kelambatan upaya ‘go digital’ di kita yang sudah digeber selama ini.

Seperti yang sudah disampaikan oleh pengelola Ekosistem Logistik Nasional (ELN), dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, ELN bukanlah platform. Ia sebagai integrator dari berbagai platform yang ada milik instansi pemerintah maupun yang dioperasikan oleh swasta. Saat ini terdapat Indonesia National Single Window (INSW) untuk proses dokumentasi impor dan ekspor. Pertanyaan berikutnya, apakah ELN juga memasukkan platform asing sebagai ekosistemnya?

Pada derajat tertentu barangkali INSW dapat disejajarkan dengan Tradelens. Bedanya, satu dimotori oleh pemerintah/negara, satunya lagi oleh swasta. Pertanyaannya, apakah INSW bisa ‘berbicara’ dengan Tradelens dalam bahasa yang sama? Jika tidak, platform domestik yang mana yang akan dijadikan mitra anjungannya pelayaran global itu?

ELN dengan semua platform yang ada di dalamnya mudah-mudahan bisa berjalan dengan baik tanpa perlu menjadikan ekosistem logistik kita seperti ‘katak dalam tempurung’. Semoga.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…