Oleh: Sarwani, Pengamat Kebijakan Publik
Bak seorang petinju yang tengah terpojok, pemerintah Indonesia berusaha mengeluarkan jurus-jurus pamungkas untuk membalikkan keadaan dari posisi ‘di bawah’ sebagai negara yang tidak dilirik investor dan hanya menjadi pasar bagi produk asing, menjadi produsen handal dengan produk yang kompetitif di tingkat global dan pengekspor utama dunia.
Jurus-jurus itu jika dirunut mulai dari Paket Kebijakan Ekonomi 16 jilid, UU Cipta Kerja adalah rangkaian strategi untuk meningkatkan daya saing, mendorong peningkatan investasi, dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
Indonesia menambahkan jurus baru dengan menandatangani perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) untuk meningkatkan partisipasi Indonesia dalam perdagangan global. Pemerintah memperkirakan kesepakatan dagang ini akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Dengan adanya RCEP, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global meningkat dan produk domestik bruto (PDB) Indonesia naik sebesar 0,05 persen pada periode 2021-2032. Jika tidak ada RCEP maka akan turun 0,07 persen. Di samping itu, akan mendorong kapasitas dan kemampuan ekonomi UMKM.
RCEP memberikan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Indonesia lantaran ia merupakan perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kerja sama kawasan ini memiliki porsi 30,2 persen dari total PDB dunia, investasi asing langsung (FDI) sebanyak 29,8 persen, meliputi 2,1 miliar orang atau 29,6 persen populasi dunia, 27,4 persen perdagangan global, sedikit di bawah EU-27 yang mencapai 29,8 persen.
Cuan yang diperoleh Indonesia berupa keuntungan kesejahteraan (welfare gain) sekitar 1,52 miliar dolar AS atau sekitar Rp21,58 triliun, dengan kurs Rp14.200 per dolar AS, dari kehadiran RCEP.
Welfare gain adalah surplus yang didapat konsumen dan produsen dari sebuah transaksi. Konsumen mendapatkan walfare gain bila harga yang mampu dibayar konsumen lebih kecil dari harga faktual di pasar, sehingga konsumen bisa menabung. Di sisi lain, harga yang sebetulnya mampu ditawarkan produsen ternyata lebih kecil dari harga yang berlaku di pasar.
Sejak dunia menjadi ‘datar’ seperti diungkapkan Thomas Friedman dalam bukunya The World Is Flat, pergerakan modal, orang, dan barang sangat dinamis, menembus sekat-sekat teritori. Internet memungkinkan perusahaan menggunakan karyawan di seluruh dunia dan mengirim pekerjaan khusus ke tenaga kerja dengan bayaran termurah tetapi berkualitas, di negara mana saja.
Pabrik-pabrik dibangun di tempat-tempat yang lebih murah, seperti di China, Malaysia, Thailand, Meksiko, Irlandia, Brasil, dan Vietnam. Ekspansi ke luar negeri tidak hanya memindahkan bagian dari proses manufaktur atau layanan, namun juga menciptakan model bisnis baru untuk menghasilkan lebih banyak barang untuk penjualan di luar negaranya sehingga meningkatkan ekspor.
Globalisasi sepertinya memberikan kesempatan yang adil kepada siapa dan negara mana saja untuk berpartisipasi dalam perdagangan global. Namun perdagangan global tidak selalu gurih untuk dinikmati. Dalam realitasnya terjadi ketimpangan dimana ada negara yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.
Bagi negara yang siap, kesepakatan kerja sama perdagangan ini memperluas akses pasar bagi produk-produk mereka, sementara negara lain harus menerima nasib sebagai tempat penjualan barang-barang negara lain.
Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan defisit neraca perdagangan sekitar 491,46 juta dolar AS. Potensi defisit tersebut bisa diimbangi jika rantai pasok untuk kebutuhan bahan baku yang kompetitif dimaksimalkan, disamping memanfaatkan impor bahan baku setengah jadi untuk diolah di negara anggota RCEP yang lain.
Masalahnya, untuk bisa mencapai kondisi yang ideal tersebut dan meraih potensi keuntungan dari RCEP, Indonesia harus bisa meningkatkan daya saing. Syaratnya, ada sinkronisasi kebijakan di pusat dan daerah untuk mendukung kebutuhan dunia usaha.
Jika prasyarat ini tidak dapat dipenuhi maka siap-siap Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk negara lain selama RECP berlaku. Hal ini yang dikhawatirkan India. Negara itu sedianya ikut menandatangani, namun keluar karena khawatir barang-barang murah China membanjiri negara itu. Siapkah Indonesia dengan konsekuensi ini? (www.watyutink.com)
Oleh: Rianty Arawiyas, Pemerhati Keamanan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga kedaulatan wilayah laut melalui…
Oleh : Gavin Asadit, Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari…
Oleh: Noura Kesuma Putri, Pemerhati Kesehatan Masyarakat Salah satu tantangan besar yang masih dihadapi Indonesia hingga hari…
Oleh: Rianty Arawiyas, Pemerhati Keamanan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga kedaulatan wilayah laut melalui…
Oleh : Gavin Asadit, Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari…
Oleh: Noura Kesuma Putri, Pemerhati Kesehatan Masyarakat Salah satu tantangan besar yang masih dihadapi Indonesia hingga hari…