Pemerintah terkesan sangat was-was dan prihatin melihat perkembangan investasi di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Was-was ini dapat dimaklumi mengingat investasi merupakan tulang punggung ekonomi. Karena tanpa pertumbuhan investasi, niscaya tidak akan tercipta pertumbuhan ekonomi. Dampaknya, tidak ada penciptaan lapangan kerja baru. Pengangguran akan meningkat. Dan kemiskinan akan bertambah.
Dengan demikian, pertumbuhan investasi menjadi sangat penting bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Menurut data Bank Dunia pendapatan per kapita Indonesia hanya US$3.894 pada 2018, cukup rendah. Sedangkan Malaysia sudah mencapai US$11.239 pada tahun yang sama. Dan Thailand mencapai US$7.274. Untuk mengejar ketertinggalan ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi. Oleh karena itu, pertumbuhan investasi juga harus tinggi.
Hal lain yang membuat was-was, pertumbuhan investasi Indonesia dalam beberapa tahun ini bukannya meningkat, malah melambat. Pertumbuhan investasi rata-rata periode 2010-2014 sangat menggembirakan karena sangat tinggi. Yaitu mencapai 27,33% per tahun selama 5 tahun tersebut (2010-2014). Bahkan pertumbuhan investasi tahun 2010 mencapai 38,73%, dan 2012 dan 2013 masing-masing 31,07% dan 33,03%. Sungguh luar biasa tinggi saat itu.
Tetapi, setelah itu pertumbuhan investasi mulai mengalami pelambatan cukup signifikan. Bahkan dapat dikatakan anjlok. Pertumbuhan investasi untuk periode 2015-2018 anjlok menjadi rata-rata hanya 9,99% per tahun. Yang lebih memprihatinkan lagi, pertumbuhan investasi tahun 2018 bahkan anjlok menjadi hanya 4,11%. Pelambatan pertumbuhan investasi ini masih berlanjut di 2019, dengan pertumbuhan investasi hanya 5,29%.
Investasi asing, atau PMA (Penanaman Modal Asing), bahkan anjlok lebih dalam. Pertumbuhan PMA (dalam dolar AS) untuk periode 2010-2014 mencapai rata-rata 22,47% per tahun. Bahkan pertumbuhan investasi tahun 2010 mencapai 49,93%. Untuk periode 2015-2018, pertumbuhan PMA anljlok menjadi hanya 0,94%., bahkan PMA turun 9,09% pada 2018.
Logikanya, anjloknya pertumbuhan investasi ini akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi juga anjlok. Tetapi, keajaiban bisa saja terjadi. Ternyata pertumbuhan ekonomi tahun 2018 cukup tinggi, yaitu 5,17%. Bahkan merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi untuk periode 2015-2018. Padahal, pertumbuhan investasi tahun 2018 merupakan yang terendah untuk periode 2015-2018 tersebut, hanya 4,11%. Selain itu, neraca perdagangan 2018 juga mengalami defisit terdalam. Atau rekor terburuk dalam sejarah Indonesia dengan defisit US$8,57 miliar. Impor melonjak drastis. Kita patut bersyukur atas terciptanya keajaiban ini: meskipun banyak indikator ekonomi 2018 membukukan rekor terburuk, namun pertumbuhan ekononi malah tertinggi untuk periode 2015-2018.
Pemerintah sepertinya sangat galau melihat pelambatan pertumbuhan investasi ini. Hal ini tercermin dalam pidato Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Yang secara eksplisit berjanji akan menangani masalah investasi secara serius. Pemerintah akan membuka investasi seluas-luasnya. Bahkan, mungkin saking kesalnya, Jokowi sampai mengatakan akan menghajar bagi siapa saja yang menghambat investasi.
Pertanyaannya, apa faktor penyebab turunnya pertumbuhan investasi beberapa tahun terakhir ini. Apakah benar ada investasi yang sengaja dihambat oleh para birokrat? Bukankah perilaku atau attitude para birokrat sudah jauh lebih baik dibandingkan lima tahun atau sepuluh tahun yang lalu? Tetapi mengapa investasi tahun 2010, 2012, 2013 dapat bertumbuh di atas 30 persen? Padahal “infrastruktur” ketika itu masih seadanya saja dibandingkan dengan periode 2015-2018?
Permasalahan investasi jauh lebih pelik dari hanya sekadar pembetulan regulasi saja. Investasi pada prinsipnya tergantung apakah ada kesempatan investasi (investment opportunity) yang menarik yang dapat ditawarkan Indonesia. Karena investasi tidak selalu tergantung insentif yang diberikan, misalnya seperti tax holiday. Jadi tidak heran Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang sampai berjumlah 16 jilid tersebut belum mampu meningkatkan investasi Indonesia. Karena fokusnya menawarkan insentif.
Coba kita pertanyakan, bagaimana perkembangan investasi di kawasan ekonomi khusus (pariwisata) seperti Mandalika di Lombok, Tanjung Lesung di Banten, atau Morotai di Maluku Utara? Berapa banyak investor yang tertarik, dan yang sudah berinvestasi, di daerah pariwisata yang masih sangat baru tersebut? Investor tentu saja akan berhitung apakah investasi ini layak secara bisnis. Tax holidays menjadi penting kalau ada laba yang diperoleh. Kalau tidak ada laba, apa yang dapat di-holiday-kan?
Mungkin kebijakan baru perpajakan (deductable taxes) hingga 200%-300% untuk investasi hulu dan di bidang pelatihan/vokasi diharapkan dapat meningkatkan animo investor datang ke Indonesia. Tentu pemerintah juga menyiapkan pelayanan one stop service untuk benar-benar menyelesaikan semua urusan perizinan dari Pusat hingga ke daerah. Semoga!
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut didukung sebagai wujud nyata komitmen negara dalam menjamin hak-hak…
Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing atau alih daya menandai babak baru dalam perjalanan ketenagakerjaan nasional.…
Program 3 (tiga) juta rumah yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran memang memiliki tujuan mulia: menyediakan hunian layak bagi rakyat, mengentaskan…
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut didukung sebagai wujud nyata komitmen negara dalam menjamin hak-hak…
Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing atau alih daya menandai babak baru dalam perjalanan ketenagakerjaan nasional.…
Program 3 (tiga) juta rumah yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran memang memiliki tujuan mulia: menyediakan hunian layak bagi rakyat, mengentaskan…