Era Transparansi Penjualan Properti di Indonesia

Oleh: M Syarif Mansur, Staf Direktorat Jenderal Pajak *)

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 659 konflik agraria yang terjadi sepanjang 2017, dengan luasan wilayah sengketa mencapai 520.491,87 hektar (ha). Di tahun sebelumnya, organisasi non-pemerintah ini merilis angka 450 konflik, dengan cakupan wilayah sengketa mencapai 1.265.027 ha. (sumber kompas.com)

Dapat diperkirakan bahwa penyebab utama konflik agraria adalah masalah legalitas bukti kepemilikan hak atas lahan atau properti yang disengketakan.

Badan Pertanahan Negara (BPN) dalam proses penerbitan sertifikat tanah dan bangunan yang mengalami proses jual beli, mensyaratkan beberapa poin dokumen yang harus dilengkapi, salah satunya adalah dokumen validasi bukti pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penjualan tanah dan atau bangunan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Proses validasi bukti pembayaran sendiri, di dalam mekanisme DJP, mengalami dua tahapan penelitian: penelitian formal dan penelitian material.

Saat ini, bukan rahasia lagi bahwa banyak masyarakat yang tidak menginformasikan nilai pengalihan atau penjualan properti yang sebenarnya. Ketidakterbukaan ini merupakan modus oknum masyarakat yang tidak ingin membayar pajak penghasilan atas pengalihan properti dengan nilai yang sebenarnya, meskipun sejak tahun 2016 negara telah mengurangi tarif pajak pengalihan properti dari 5% menjadi maksimal 2,5%. Belakangan, muncul tren penggunaan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai dasar harga penjualan properti yang dilaporkan kepada DJP. NPOP adalah nilai yang ditetapkan Pemerintah Daerah yang menentukan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Pemerintah Daerah tidak menggunakan informasi harga transaksi versi pengakuan wajib pajak, melainkan nilai yang diperoleh dengan metode dan pendekatan tertentu. Meskipun demikian, penentuan dasar pengenaan pajak untuk Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan properti tidak menggunakan NPOP BPHTB, melainkan harga transaksi yang sebenarnya.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017, dalam proses validasi dan penelitian bukti pembayaran pajak pengalihan properti ini, DJP menerbitkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan sepanjang permohonan wajib pajak dianggap lengkap secara formal. Surat keterangan inilah yang kemudian menjadi dokumen pelengkap penerbitan sertifikat properti bilamana terjadi pengalihan atau jual beli. Namun, dalam aturan tersebut juga disebutkan bahwa DJP diminta melakukan penelitian ulang secara material atas setiap permohonan validasi yang masuk untuk menentukan apakah pembayaran pajak penghasilan yang telah dilakukan oleh penjual properti telah memenuhi ketentuan, baik dari kesesuaian objek properti, kebenaran harga penjualan, hingga ketepatan tarif pajak yang digunakan. Apabila dalam hasil penelitian material ditemukan ketidaksesuaian data antara yang disampaikan oleh wajib pajak dengan yang ditemukan oleh petugas pajak, maka petugas pajak akan meminta data dan keterangan atau pemeriksaan kepada wajib pajak terkait perbedaan data ini. Bila data yang dimiliki oleh petugas pajak valid dan terdapat kekurangan pembayaran, maka wajib pajak akan diminta untuk melunasi kekurangan pajak penghasilan sebagaimana yang seharusnya.

Hingga saat ini, penelitian material hanya akan berdampak pada jumlah pembayaran yang harus dilunasi oleh penjual properti sebagai wajib pajak, dan tidak mengurangi atau membatalkan keabsahan sertifikat properti yang telah diterbitkan BPN. Namun, bila ke depannya negara menemukan hal-hal yang dapat dievaluasi, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa mendatang, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara akan bersikap tegas dengan membatalkan sertifikat properti yang telah terbit bilamana ditemukan fakta bahwa wajib pajak melaporkan harga pengalihan yang tidak benar. (www.pajak.go.id) *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Dukungan Publik pada Bea Cukai Sangat Berarti, Waspadai Provokasi Cegah Polemik

  Oleh: Febi Tri Andini, Pengamat Kebijakan Publik   Dukungan penuh publik kepada Bea Cukai tentu merupakan hal yang sangat…

Etika, Hukum dan Masa Depan Demokrasi Politik

    Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, MH, Guru Besar FHUI   Dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul…

Jaga Situasi Kondusif Wujudkan Pilkada Damai

  Oleh: Samuel Christian Galal, Pemerhati Sosial Politik   Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Opini

Dukungan Publik pada Bea Cukai Sangat Berarti, Waspadai Provokasi Cegah Polemik

  Oleh: Febi Tri Andini, Pengamat Kebijakan Publik   Dukungan penuh publik kepada Bea Cukai tentu merupakan hal yang sangat…

Etika, Hukum dan Masa Depan Demokrasi Politik

    Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, MH, Guru Besar FHUI   Dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul…

Jaga Situasi Kondusif Wujudkan Pilkada Damai

  Oleh: Samuel Christian Galal, Pemerhati Sosial Politik   Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi di…