Dana Pangan Naik, Kondisi Petani?

Melihat data APBN 2017 terlihat anggaran kedaulatan pangan mencapai Rp103,1 triliun, atau naik 53,2% dari tahun sebelumnya. Namun ironisnya, anggaran negara ini belum sepenuhnya dinikmati petani miskin. Sejumlah indikator justru mengungkapkan hal yang sebaliknya. Kehidupan petani bukan bertambah baik. Justru semakin tenggelam di kedalaman dan kemiskinan yang parah.

Menurut Suwidi Tono, pengamat pertanian sekaligus anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) dalam sebuah diskusi di kampus IPB, belum lama ini, nilai tukar petani (NTP) yang merosot dibandingkan era Presiden sebelumnya di 2014, dari 101,98 menjadi 100,71 (2017). Naiknya harga ke-4 komoditas pangan utama seperti daging sapi (naik 16,5%), beras medium (naik 18,9%), gula pasir (19,7%) dan bawang merah 19,7% gagal mendongkrak NTP petani. Karena memang ke empat produk pangan utama, kecuali beras dan gula, pemainnya bukan petani miskin.

Kemungkinan rupa-rupa subsidi pupuk, benih dan alat-alat mesin pertanian (alsintan) yang jumlahnya mencapai Rp 40 triliun – Rp45 triliun jatuh ke petani kaya yang jumlahnya hanya 5% dari keseluruhan penduduk yang hidup dari sektor pertanian, sedangkan 65% petani yang benar-benar dalam kategori miskin hanya kecipratan subsidi sekitar 3%.

Apalagi data BPS (Maret 2017) mencatat indeks kedalaman kemiskinan naik dari 2,26% menjadi 2,49% dan indeks keparahan kemiskinan juga meningkat dari 0,57% menjadi 0,67%. Kondisi petani ini berbanding terbalik dengan rata-rata angka pertumbuhan ekonomi nasional 4,97% dan penurunan angka kemiskinan nasional dari 14,37% menjadi 13,96%.

Peningkatan produktivitas tanaman pangan tampaknya juga belum terlihat dalam Global Food Security Index 2017. Untuk indeks keamanan pangan secara kuantitas masih menduduki peringkat ke-69 dari 113 negara. Sedangkan dari kualitas keamanan pangan menghuni ke tingkat yang lebih parah lagi – yaitu peringkat ke-86 dari 113 negara.

Kondisi petani umumnya, kecuali petani kaya yang memiliki tanah luas, sarana dan prasarana produksi sendiri – memang menyedihkan. Tidak mengherankan apabila semakin sedikit generasi muda yang mau terjun ke sektor pertanian. Hal itu tercermin dari semakin menurunnya jumlah petani dan rumah tangga petani.

Tahun 2013 lalu masih tercatat 39,22 juta jiwa yang hdup dari bertani. Angka itu menyusut 38,97 juta pada 2014, 37,75 juta pada 2015 (BPS, 2015) dan diperkirakan tinggal 33 juta pada 2017. Di antara petani yang masih aktif ke ladang atau sawah, tercatat 61% yang berusia di atas 45 tahun.

Jumlah nelayan tradisional (tangkap) dalam 10 tahun terakhir juga merosot 50% dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Sebaliknya jumlah nelayan budi daya justru naik dari 985 ribu menjadi 1,2 juta rumah tangga. Begitu pun jumlah peternak ayam ras turun drastis 800 ribu pada 1987 menjadi tinggal 67 ribu pada 2017.

Dampak lain yang bisa terlihat, sumbangan sektor pertanian ke Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus menurun dari 22,09% pada 1990 menjadi 13,45% pada 2016. Begitu juga dengan serapan tenaga kerja. Tahun 1990 sektor pertanian masih mampu memberikan 55,1% tenaga kerja. Tapi 26 tahun berikutnya tinggal mampu memberikan pekerjaan kepada 31,9% saja.

Kebutuhan tanah yang terus meningkat – baik untuk pemukiman maupun tempat usaha – semakin mempercepat laju alih fungsi lahan pertanian yang rata-rata mencapai 100 ribu hektar per tahun. Sedangkan pencetakan lahan pertanian baru hanya sekitar 20 ribu hektar per tahun.

Semakin banyaknya penduduk yang mengkonsumsi mie atau roti membuat impor gandum naik dari 7,77 juta ton pada 2015 menjadi 9,79 juta ton pada 2016. Impor buah-buahan yang umumnya didatangkan dari China dan Amerika Serikat – termasuk kedelai dan jagung – menguras devisa hingga Rp 25 triliun.

Tidak berdaulatnya kita terhadap pangan juga terlihat dari benih unggul terbatas  dan impor (hibrida) – kapitalisasi industri ayam ras (pedaging dan petelur) mencapai Rp46 triliun per tahun, 100% grand parent stock (GPS) atau indukan impor – tahun ini 650 ribu GPS broiler akan menjadi sekitar 3,4 miliar day old chick (DOC) dan 36 ribu layer. Kita juga tergantung sekitar 70% pakan – jagung, bungkil dan kedelai yang masih impor. Ini tantangan bagi pemerintahan di era Jokowi-JK.

BERITA TERKAIT

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…

Budaya Bertoleransi

  Pelaksanaan Pemilu 2024 sudah selesai. Masyarakat sudah menentukan pilihannya dalam gelaran pesta demokrasi. Sebagai warga negara Indonesia yang baik,…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…

Budaya Bertoleransi

  Pelaksanaan Pemilu 2024 sudah selesai. Masyarakat sudah menentukan pilihannya dalam gelaran pesta demokrasi. Sebagai warga negara Indonesia yang baik,…