KPK Butuh Dukungan Pemerintah-Parlemen Berantas Korupsi

KPK Butuh Dukungan Pemerintah-Parlemen Berantas Korupsi

NERACA

Jakarta - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai KPK membutuhkan dukungan pemerintah dan parlemen untuk melaksanakan tugas pemberantasan korupsi guna memperbaiki skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.

"Pemerintah dan legislatif tidak sepenuhnya mendukung upaya KPK dalam pemberantasan korupsi, terlihat dari adanya Pansus Angket KPK tahun lalu sampai awal tahun ini," kata peneliti MaPPI FH UI Aradila Caesar saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (24/2).

Hal itu ia sampaikan terkait stagnasi skor IPK Indonesia 2017 berdasarkan survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) yang berada pada angka 37 atau sama dengan 2016. Dalam skala 0-100, angka 0 dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih.

Dengan skor itu, peringkat Indonesia melorot ke urutan 96 dari 180 negara, padahal pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90 dari 176 negara. Salah satu penyebab turunnya skor Indonesia adalah penurunan angka "World Justice Project" (WJP) 2017 yang mengukur efektivitas penegakan hukum dan integritas penegak hukum.

"Dalam setahun terakhir untuk kasus korupsi saja ada kasus KTP-E yang melibatkan anggota DPR dan mengakibatkan angka kerugian negara yang sangat besar. Selain itu, tahun lalu banyak hakim atau panitera yang tertangkap oleh KPK, keduanya menjadi penyumbang terbesar turunnya skor WJP Indonesia pada 2017, termasuk kasus yang melibatkan isu 'freedom of expression' seperti 'hate speech'," tambah Aradila.

Karena itu, suka tidak suka, kondisi politik dan hukum Indonesia tahun lalu kurang kondusif ditambah kualitas penegakan hukum tidak bisa dikatakan memuaskan.

IPK Indonesia 2017 dalam laporan TII masih berada di bawah rata-rata global (43) dan ASEAN (41). Dari 11 negara anggota ASEAN, skor Indonesia sama dengan Thailand. Indonesia bahkan kalah dibanding Timor Leste yang skornya adalah 38, dan tentu berada di bawah Singapura (84), Brunei Darussalam (62) dan Malaysia (47).

"WJP itu tahun lalu memberikan skor 26 untuk Indonesia, terendah dibanding 7 lembaga pemeringkat yang ikut berkontribusi dalam menilai CPI, tahun ini bahkan diberikan 20, jadi memang agak sia-sia 'ease of doing business' naik pesat karena ketarik dengan rendahnya angka WJP dan Varities of Democracy Project (VDP) yang juga ikut masuk dalam CPI," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (24/2).

Baik WJP maupun VDP menilai kinerja KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan."Artinya kalau 'law enforcement Indonesia bagus, WJP dan VPDP akan sama-sama memberikan skor yang bagus, memang masalah di sektor hukum lebih rumit karena belum ada titik terang bagaimana aparat penegak hukum bisa berkolaborasi dengan nyata," tambah Pahala.

Namun pada 2018, KPK akan terus menggenjot kerja pencegahan korupsi di sektor swasta, perbaikan pengadilan dan partai politik."Kalau parpol bersih, bisa menambah poin, juga suap di sektor swasta semoga tahun ini akan lebih banyak korporasi yang ingin berbisnis dengan baik. Selain itu juga pengawasan akuntabilitas dana publik di pemerintahan daerah dan kementerian itu perlu diakselerasi lagi," jelas Pahala.

KPK selanjutnya juga akan berkomunikasi dengan lembaga-lembaga lain lebih serius."Kalau perlu 6 bulan sekali 'update' kondisi semua lembaga itu, karena indeks persepsi korupsi itu kan menghitung persepsi yang juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan, kalau tidak diinformasikan ya mana masyarakat tahu ada perbaikan," ungkap Pahala.

Dari data KPK, dari 2004-2017, ada 17 hakim dan 7 jaksa ditangkap karena korupsi. Selain itu, 144 anggota parlemen, 69 wali kota/bupati, dan 18 gubernur juga diproses hukum.

Sementara, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai stagnasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2017 karena banyaknya korupsi politik dan korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum."Kali ini 'pulling down' faktornya masih maraknya korupsi di sektor politik dan korupsi aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, hakim," kata Laode.

Dengan skor IPK Indonesia 2017 itu, peringkat Indonesia melorot ke urutan 96 dari 180 negara, padahal pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90 dari 176 negara."Untungnya ada catatan spesial dari TII bahwa kerja KPK dihargai tapi masih 'dimusuhi' oleh parlemen dan pemerintah," tambah Laode.

Catatan khusus yang dimaksud Laode dalam laporan itu adalah "Indonesia telah menempuh waktu panjang untuk melawan korupsi, namun sulit untuk meningkatkan peringkat karena dalam 5 tahun terakhir hanya berubah dari angka 32 ke 37. Peningkatan yang tidak signifikan itu terjadi karena kerja dari lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu KPK untuk memberantas para koruptor menghadapi perlawanan kuat dari pemerintah dan parlemen".

"Sehingga memang masih ada perlawanan untuk kerja pemerantasan korupsi yang dilakukan KPK di Indonesia," ungkap Laode. Ant

 

BERITA TERKAIT

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…