Waspadai Gejolak Pangan dan Energi

Awal 2018 perekonomian Indonesia diwarnai dengan dinamika harga pangan dan energi yang berpotensi menjadi ‘batu sandungan’ bagi upaya akselerasi perekonomian. Dari dalam negeri, bahan pangan paling pokok di Indonesia yaitu beras, telur,dan cabai merangkak naik seiring dengan datangnya musim penghujan.

 

NERACA

 

Kenaikan ini terjadi sejak bulan Desember, bahkan BPS mencatat kenaikan bahan pangan ini menyumbang inflasi sebesar 2.26 % secara bulanan Berbagai harga pangan yang naik ini sangat perlu diwaspadai karena akan berlanjut jka tidak ditangani dengan sungguh - sungguh. Sehingga ‘mendesak’ Pemerintah untuk melakukan stabilisasi.

Selain pangan kenaikan harga energi harus diwaspadai oleh pemerintah. Harga energi mulai naik sejak pertengahan tahun lalu. Harga energi terutama minyak mentah di tahun 2017 telah menembus angka US$60/barel dan akan diprediksi terus meningkat hingga menembus US$80 US/barel.

Peningkatan harga ini diakibatkan dengan pemotongan produksi minyak mentah OPEC, tidak tercapainya produksi minyak Amerika Serikat , memanasnya politik Iran (timur tengah) ,hancurnya negara ISIS serta prediksi ekonomi dunia yang tumbuh di atas 3 % setelah stagnan selama 3 tahun.  Pertumbuhan ini akan menaikkan permintaan minyak mentah dari negara - negara importir. Harga acuan minyak mentah ini akan mengakibatkan tekanan harga BBM di Indonesia. Terutama harga ICP (Indonesia Crude Price) pada APBN 2018 yang  dipatok di level US$50 per barel.

Kenaikan harga ini akan berdampak pada subsidi BBM, gas LPG 3 kg, dan harga listrik di indonesia.  Jika harga energi ini tidak naik akan berdampak terhadap defisit APBN 2018. Terutama di tahun menuju pemilu 2019 pemerintah akan menjaga harga energi tetap stabil dan akan berakibat terhadap APBN 2018

Menyikapi hal itu, Institute for Development of Economics and Finance  (INDEF) sebagai lembaga riset independen menyampaikan sejumlah catatan kritis atas fenomena lonjakan sejumlah harga pangan (khususnya beras) dan minyak dunia di awal tahun ini.

Menurut Direktur INDEF, Enny Sri Hartati, dalam diskusi yang bertajuk  "Mewaspadai Gejolak Pangan dan Energi", di Jakarta, Kamis (25/1) kemarin, ada beberapa poin yang harus diperhatiakan pemerintah pertama, menurut Enny, pangan dan energi merupakan penentu utama stabilitas perekonomian Indonesia.

Sementara pengelolaan pemenuhan dan stabilitas harga pangan dan energi masih dilakukan secara ad hoc belum menyelesaikan pokok persoalan. “Tingkat kecanduan impor Indonesia terhadap komoditas pokok tersebut kian mengkhawatirkan, akibatnya perekonomian sangat rentan dengan dinamika perekonomian global, serta produktivitas nasional tidak pernah maksimal karena potensi ekonomi domestik tidak dikelola dengan baik,“ katanya.

“Pemenuhan konsumsi BBM dan pangan dari impor terus meningkat, impor beras pun dilakukan demi stabilisasi harga, padahal sebentar lagi petani panen. Jika harga pangan terus mengalami gejolak, maka upaya pemulihan daya beli masyarakat akan terhambat. Artinya target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen akan sulit dicapai,” tambahnya.

Selain itu, Interrelasi APBN dengan gejolak harga minyak dunia mungkin mulai mengecil seiring pemangkasan subsidi BBM, namun risiko ekonomi tetap akan muncul dan sifatnya langsung dihadapi oleh masyarakat. Ini artinya, sungguh pun APBN tidak akan “jebol” gara-gara kenaikan harga minyak dunia  bahkan berdampak positif dalam simulasi sensitivitas APBN 2018. Namun tidak ada jaminan bahwa daya beli masyarakat tidak akan turun karena gejolak harga minyak dunia apabila kenaikan harga minyak dunia sepenuhnya diteruskan ke konsumen.

Pada lain sisi, bila sebagian atau semua selisih harga BBM ditanggung oleh Pertamina maka akan mengganggu kelancaran bisnisnya sehingga keuntungannya tentu semakin tergerus. Akibatnya kemampuan investasinya pasti akan semakin lemah padahal kondisi saat ini membutuhkan banyak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Untuk itu, pemerintah perlu segera menegaskan opsi mana yang dipilih: 1) meneruskan sebagian/keseluruhan kenaikan harga minyak global ke konsumen, 2) menugaskan Pertamina menanggung sebagian/keseluruhan selisih harga dengan konsekuensi menurunnya keuntungan dan setoran deviden atau 3) menambah Penanaman Modal Negara sebagai konsekuensi penugasan tersebut. Dapat juga diambil kombinasi antara ketiga opsi di atas, yang penting jelas sehingga masyarakat, dunia usaha dan Pertamina bisa membuat perencanaan di tahun 2018.

Upaya lain yang tentu harus dijaga adalah stabilitas rupiah jangan samapi  lengah.   Karena, kenaikan harga minyak ditengah ketergantungan impor minyak yang besar, berkonsekuensi pada permintaan dollar yang meningkat. Sementara kemampuan peningkatan ekspor masih sangat terbatas, sehingga berpotensi menekan keseimbangan pasar valas yang berisiko mengganggu stabilitas serta nilai rupiah.

“Kenaikan harga minyak tentu akan berdampak langsung peningkatan nilai impor BBM, tentu ini juga akan mengganggu neraca perdagangan. Karenanya diperlukan langkah-langkah antisipatif dari kebijakan moneter yang prudent. Termasuk koordinasi yang sinergis antara BI dan Pertamina saat akan melakukan impor minyak,” ujar Enny.

 

Ancaman Inflasi

 

Hal lain yang tentu perlu diwaspadai tentu ancaman Inflasi dan tekanan daya beli. Karena kenaikan harga minyak berpotensi mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat.

Dimana sejarah menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan Premium sebesar 23,5 persen dan Solar sebesar 36,4 persen di November 2014 diikuti oleh inflasi sebesar 3,96 persen di bulan November-Desember 2014 yang lebih besar dari total inflasi 2017 sebesar 3,61 persen

Sementara itu, penurunan daya beli akan berpengaruh sumber utama pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi rumah tangga dan Investasi. Saat daya beli menurun maka rumah tangga akan menahan konsumsi saat ini, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ke depan.

Disamping itu juga, penurunan daya beli juga berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha, tidak hanya yang berbasis konsumen (ritel) tapi juga akan berimbas kesektor produksi (investasi).

Dan terakhir, Kenaikan harga minyak bakal mengganggu sektor pembiayaan. Yang mana saat inflasi naik, maka akan diikuti dengan kenaikan suku bunga simpanan (cost of fund) dan suku bunga pinjaman. Hal tersebut akan menyebabkan pertumbuhan kredit melambat, investasi turun, dan menekan pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu diambil pemerintah yaitu ;  Tidak lagi mengklaim surplus beras sebelum melakukan pendataan produksi beras secara faktual dan sistematis. Menggelontorkan beras secara bertahap dengan tujuan stabilkan harga, lalu dihentikan ketika masa panen tiba sehingga tidak kurangi pendapatan petani Indonesia. Pemerintah harus segera melakukan simulasi dampak dan mengumumkan langkah mitigasi kenaikan minyak, agar memberikan kepastian terhadap dunia usaha.

Mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengefisienkan pengelolaan BBM, baik di sisi hulu maupun hilir. Serta mengurangi proporsi energi fosil (PLTD) sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Dan menjamin ketersediaan dan stabilitas harga pangan pokok (beras) serta respon cepat pada daerah yang kekurangan. Termasuk kembali  melakukan kampanye dan langkah sistematis diversifikasi pangan nonberas dengan mengutamakan makanan pokok yang diproduksi di daerah tersebut sehingga mengurangi permintaan beras jangka panjang. (agus)

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…