Total Faktor Produktivitas dan Manajemen Risiko

 

Oleh: Achmad Deni Daruri

President Director Center for Banking Crisis

 

Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan (menurut Wideman), ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan dikenal dengan istilah risiko (risk). Ketika beberapa ekonom memperkirakan bahwa Singapura beberapa tahun yang lampu memiliki nilai total faktor produktivitas yang rendah maka pimpinan tertinggi Singapura segera mencari tahu akar penyebab rendahnya nilai TFP tersebut dan melakukan langkah preferentif. Terbukti Singapura berhasil mengatasi masalah tersebut dan pembangunan ekonomi Singapura dapat dikatakan berhasil. Dengan demikian otoritas ekonomi Singapura telah menggunakan TFP sebagai input dalam manajemen risiko mereka.

Malaysia juga secara sistematis mulai memasukkan target TFP dalam perencanaan pembangunan mereka. Pada saat terjadi krisis tahun 1997, terbukti Singapura berhasil luput dari terjangan krisis ini. Krisis ini bermula di Thailand seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat. Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.

Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun, bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Cina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia. Rasio utang-PDB asing naik dari 100% menjadi 167% di empat negara ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%.

Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang-ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan. Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai $40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan massa yang memprotes kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih.

Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan. Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Singapura yang dianggap bakal mengalami krisis ekonomi justru luput. Hal ini karena Singapura menganggap serius penelitian yang menganggap TFP Singapura sangatlah rendah. Pada saat itu Paul Krugman yang meramaikan isu tersebut.

Bukan hanya itu Singapura juga mengirim warga negaranya untuk belajar ke Harvard untuk mendalami total faktor produktivitas ini. Akhirnya ia juga mendapatkan gelar doktor dari Harvard. Keseriusan Singapura ini akhirnya berbuah manis dimana krisis ekonomi tidak meluluhlantakkan perekonomian Singapura. Penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.

Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi dan politik. Ancaman ketidakpastian itu dapat ditangkap dari rendahnya nilai TFP. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak perusahaan yang menggunakan TFP sebagai input penting dalam pengelolaan resikonya? Rasanya tak banyak yang melakukannya.

Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.

Sayangnya Komite nasional Kebijakan Governence juga belum menyadari pentingnya TFP dalam manajemen risiko. Ian Goldin yang juga professor dari Universitas Oxford mengingatkan bahwa dunia usaha akan menghadapi risiko yang akan semakin besar dengan adanya teknologi baru yang hadir secara revolusioner dan meningkatkan kompleksitas ekonomi dan politik. Goldin memang tepat dimana keahlian baru bagi regulator, pengawas dan perusahaan memang sangat diperlukan untuk mengeliminir risiko.

 

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…