Integrasi Ekonomi Jadi Penantian Lama ASEAN

Oleh: Roy Rosa Bachtiar

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah diluncurkan pada 31 Desember 2015 sebagai tipe baru integrasi ekonomi kawasan yang sudah dicapai organisasi tersebut sejauh ini.

Untuk lebih memperkuat hubungan antarnegara di kawasan, selanjutnya ASEAN meluncurkan Cetak Biru ASEAN 2025 sebagai pedoman bagi integrasi yang lebih baik pada masa mendatang dan bertujuan membentuk iklim ekonomi yang lebih kompetitif, inklusif, terintegrasi, serta berorientasi pada masyarakat. Selama prosesnya, banyak hal yang sudah dilakukan negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai tujuan akhir MEA.

Integrasi ekonomi menjanjikan kesejahteraan bagi para anggota ASEAN, namun sejalan dengan upayanya juga memerlukan pendanaan yang tidak kecil. Selain itu, upaya integrasi ekonomi antarnegara yang menjadi rekanan dagang alami di kawasan juga memiliki potensi hambatan.

Sebagaimana yang dijelaskan Wannacot P. dan Lutz dalam buku berjudul "Free Trade Areas and U.S. Trade Policy", bahwa integrasi ekonomi melalui area perdagangan bebas (FTA) justru tidak akan menciptakan efek pengalihan arus perdagangan, mengingat hubungan kerja sama perdagangan sudah dilakukan sebelum pemberlakuan FTA.

Dikatakan secara alami karena kebanyakan rekan perdagangan ialah negara-negara tetangga terdekat. Alih-alih mendapat keuntungan, hal ini justru akan menimbulkan pengeluaran biaya yang berlebih.

Untuk itu, mereka pun mengimbau agar para anggota kawasan ekonomi agar memberi perhatian tidak hanya pada usaha untuk meningkatkan keuntungan, namun juga meminimalkan biaya.

Proses integritas ekonomi ASEAN juga dinilai lebih lambat jika dibandingkan dengan integrasi ekonomi di wilayah lain, tidak secepat seperti yang diharapkan banyak pihak.

Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Zamroni Salim memaparkan untuk mewujudkan komunitas ekonomi, ASEAN memerlukan waktu 48 tahun terhitung dari lahirnya ASEAN pada 1967 hingga 2015. Sementara komunitas ekonomi Uni Eropa yang dikenal dengan Eurasia hanya perlu waktu 20 tahun dalam implementasinya.

Selain itu, perlambatan dalam proses integrasi ekonomi ASEAN juga terlihat dari peningkatan perdagangan intra ASEAN yang hanya meningkat satu persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari 24 persen menjadi 25 persen.

Angka tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah perdagangan dalam kurun waktu yang sama pada sejumlah kawasan integrasi ekonomi lainnya, seperti Uni Eropa yang mencapai 63 persen, NAFTA (Amerika Utara) 50 persen, SADC (Afrika bagian Selatan) 18 persen, dan Mercosur (Amerika Selatan) 14 persen.

Menurut Zamroni, lambatnya perkembangan di dalam kawasan ASEAN disinyalir akibat adanya orientasi individual berupa kemiripan komoditas perdagangan. Dengan kondisi geografis dan kemajuan industri yang setara pada negara ASEAN, kata dia, komoditas yang saling menyerupai marak dijumpai di wilayah ini.

Selain itu, lambatnya perkembangan integrasi ekonomi ASEAN juga akibat tipikal anggota ASEAN yang bekerja tanpa jadwal yang teratur. Hal itu, berbeda dengan kawasan ekonomi lainnya.

Misalnya, saat anggota ASEAN membahas atau menegosiasikan sebuah perjanjian kerja sama, maka penyelesaian atau implementasinya akan berjalan sangat lambat dan sulit menemukan titik puncak.

Hal inilah mengapa ASEAN berbeda dengan sejumlah kawasan integrasi ekonomi lainnya di dunia yang lebih menggunakan fondasi kebijakan konkret dan formal, sementara ASEAN lebih cenderung bersandar pada faktor yang tidak mengikat, seperti sejarah keberagaman yang besar, budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang tengah berkembang.

Peluang Ekonomi

Meski dinilai perkembangan integrasi ekonomi di ASEAN berjalan lambat, hal itu tidak menutup kemungkinan Asia Tenggara akan ikut menikmati proses pergeseran basis ekonomi yang tadinya berada di kawasan Barat, kini bergeser ke Timur.

Sekretaris Eksekutif ASEAN Studies Center (ASC) Fisipol Universitas Gadjah Mada, Ahmad Rizky M. Umar, menjelaskan situasi ekonomi global sedang mengalami pergeseran poros yang semula berada pada kekuasaan kawasan Eropa dan Amerika atau kerap disebut Dua Sisi Atlantik, kini berada pada China dan India.

Hal ini dipandang dapat memberikan peluang bagi Asia Tenggara untuk menjadi kian strategis dengan perannya sebagai pasar dan sekaligus basis produksi dari situasi pergeseran ini.

Dalam data yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari 2017, disebutkan bahwa stabilitas dan ekosistem perdamaian yang diciptakan ASEAN telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bagi negara-negara anggotanya dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan dunia.

Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen, Filipina enam persen, Kamboja 7,1 persen, Laos tujuh persen, Myanmar 8,2 persen, dan Vietnam 5,9 persen. Angka itu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang sebesar 3,1 persen.

Merujuk pada data ini, bukan tidak mungkin ASEAN kelak mampu menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Dengan catatan, ASEAN mampu menjaga pertumbuhan ini dan menyiapkan sejumlah instrumen serta kerangka kerja ekonomi yang lebih kompleks.

China yang basis industri dan manufakturnya kuat serta India yang mumpuni dalam bidang perangkat lunak dan teknologi komunikasi-informatika, menjadi peluang emas bagi ASEAN untuk mendulang keuntungan. Caranya, ujar Umar, mengembangkan basis produksi dengan menjalin hubungan konsumtif dengan kedua negara itu. Meski begitu, asumsi perkembangan positif ekonomi ASEAN juga masih menyisakan permasalahan dan tantangan ke depannya.

ASEAN harus memikirkan usaha untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang sangat besar antara negara-negara di bagian Selatan dan bagian Utara atau Indocina yang baru bergabung dengan ASEAN pada era 90-an. ASC Fisipol UGM melihat masalah ini belum dituntaskan, dan dianggap menjadi isu yang sangat menonjol ke depan.

Saat ASEAN makin mendorong integrasi ekonomi namun celah pembangunan tidak terarah maka ketimpangan pada negara-negara anggotanya akan sangat terasa. Hal ini tidak hanya menyangkut ketimpangan yang sifatnya ekonomi atau perdagangan, tetapi ditakutkan juga bisa memicu sentimen yang sangat kuat antarnegara anggota. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…