Ketika Gas Bumi Lebih Murah Dari Negara Tetangga

Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri, kalimat bijak itulah yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia di perbatasan. Begitu dekatnya interaksi masyarakat Indonesia yang hidup di perbatasan dengan masyarakat negara tetangga, seakan sudah menjadi kampung kedua negara tersebut. Bahkan dalam perdagangan jasa dan non jasa, lebih banyak menggunakan transaksi mata uang negara tetangga. Ironisya, banyak pula masyarakat yang rela pindah menjadi warga negara tetangga karena alasan ekonomi di negara tetangga yang menjanjikan kehidupan lebih baik.

Persoalan infrastruktur hingga minimnya perhatian pemerintah untuk kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar perbatasan, mulai dari kesehatan, pendidikan dan ekonomi menjadi pemicu mudahnya masyarakat rela mengorbankan kewarganegaraannya untuk menjadi warganegara tetangga. Bila sudah demikian, jangan lagi ditanya soal nasionalisme. Ya, Indonesia mempunyai pengalaman pahit dari minimnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat perbatasan yaitu hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan yang direbut negara Malaysia.

Cerita rupiah yang tak laku di wilayah perbatasan, bukanlah kisah baru. Selain di wilayah Entikong bagian Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, hal yang sama juga terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste di Atambua. Dimana mata uang dolar Amerika Serikat lebih banyak digunakan dan sebaliknya rupiah tidak laku. Disamping itu, kondisi serupa juga terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea.

Begitu besarnya ketergantungan masyarakat perbatasan terhadap kebutuhan suplai bahan pokok dari negara tetangga, menjadi alasan setianya masyarakat perbatasan untuk selalu bertransaksi menggunakan mata uang negara tetangga, disamping juga harganya yang murah. Tengok saja, perbedaan harga tabung gas Petronas ketimbang Elpiji dari Pertamina. Perbedaan harga per tabung 12 kilogram bisa lebih dari Rp 50 ribu.”Harga gas Petronas RM30 atau Rp135 ribu. Sedangkan gas Indonesia Rp180 ribu sampai Rp200 ribu,” kata Agus, salah seorang pemilik toko Kelontong di Pasar Entikong. Perbedaan ini jelas menjadi salah satu alasan, masyarakat perbatasan lebih memilih menggunakan gas Malaysia.

Agus Sukma (40) warga Balai Karangan mengatakan, gas Petronas juga lebih banyak isinya ketimbang Elpiji. “Istri saya pakai Petronas bisa sampai sebulan, tetapi kalau lokal punya tidak sampai sebulan,” kata dia. Tak hanya itu, dirinya juga mengeluhkan ketersediaan gas lokal pun tidak stabil. Bahkan bisa dibilang sering langka dari pasaran. Asal tahu saja, selain komoditas lainnya, beras hingga gas merek Petronas menjadi primadona yang diburu warga.

Hal inipun diakui Dauglas (40), pemilik Toko Herik yang menjual gas LPG merek Petronas ukuran 14 kilogram, dijualnya Rp 180 ribu dan harganya menjadi Rp 450 ribu bila dijual bersama tabungnya. Dauglas mengeluh barang-barang Indonesia berharga mahal. Dia mengaku dalam hatinya ingin agar barang Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia, namun kadang kualitas juga tak sebanding dengan harga. Maka Dauglas dan kebanyakan pedagang di sini memilih menjual barang dari Malaysia karena hitung-hitungan ekonomis.

Melihat besarnya kebutuhan gas rumah tangga di daerah perbatasan, pemerintah langsung menugaskan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk untuk mengambil alih potensi pasar tersebut dengan membangun jarigan gas (jargas) rumah tangga dibeberapa kota, termasuk di daerah perbatasan dengan Malaysia, seperti Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Sales Area Head PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) Cabang Tarakan, Muhammad Arif menjelaskan, PGN memasok gas bumi di Tarakan sejak 2011. PGN masuk ke Tarakan setelah mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih pengelolaan hilir gas bumi dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).”PGN mendapat instruksi untuk mengelola Jaringan gas di Tarakan yang sebelumnya dikelola oleh BUMD setempat,”ujarnya.

 

Meringankan Beban

Kini dengan hadirnya, pasokan gas bumi dari PGN, diakui Muhammad Arif, warga Tarakan, Kalimantan Utara cukup diringankan bebannya. Pasalnya, warga bisa mendapatkan bahan bakar untuk memasak dengan harga yang murah. Sebelum ada pasokan gas bumi dari PGN, masyarakat menggunakan Liqufied Petroleum Gas (LPG) atau minyak tanah untuk memasak. Harga LPG di kisaran Rp 260 ribu per tabung hingga Rp 325 ribu per tabung.

Setiap tabungnya berisi 12 kilogram (kg). Harga tersebut sangat berbeda jauh ketika warga Tarakan menggunakan gas bumi. Dalam hitungan Muhammad, masyarakat hanya merogoh kocek Rp 6.300 per meter kubik hingga Rp 7.600 per meter kubik. Jika disetarakan maka uang yang dibutuhkan untuk membeli 12 kg gas bumi hanya sekitar Rp 130 ribu.”Kalau ‎harga LPG 12 kg dari Indonesia itu mencapai Rp 260 ribu per tabung. Kalau dari Malaysia dengan berat 14 kg itu sekitar Rp 325 ribu per tabung. Jadi kalau menggunakan gas bumi efisiensinya bisa mencapai lebih dari Rp 150 ribu," kata Muhammad

Dengan lebih murahnya harga gas bumi ‎tersebut, maka PGN dapat membantu meringankan beban masyarakat Tarakan. Selain meringankan dari sisi harga, energi bersih tersebut juga memudahkan masyarakat mendapat bahan bakar, karena pasokannya selalu terjamin. "Kami bantu masyarakat sekitar menggunakan energi baik dan murah, karena LPG sulit," tutur dia.

Dirinya juga menceritakan, keunggulan memakai gas bumi ketimbang elpiji. Selain harganya yang murah juga tidak memerlukan ruang yang besar untuk menampung gas. Sementara gas elpiji memerlukan tempat yang aman dari bahaya apapun. “Jika gas elpiji habis, warga tidak bisa menggunakannya lagi. Tapi jika menggunakan gas bumi, jangan takut untuk kehabisan karena akan dijamin keberlangsungan suplai gasnya,” kata Arif.

Berbeda dengan gas bumi, gas elpiji komponennya didominasi oleh propana sebesar 80 persen dan butana sebesar 30 persen. Jelas terlihat, kandungan gas bumi dan gas elpiji jauh berbeda. Dikatakan Arif, kualitas dan kuantitas dari gas bumi juga bisa dijamin serta melihat dari biaya operasional dan pemeliharaan pipa gas yang cenderung rendah.

Pengalaman ini juga dirasakan Neneng (46) yang tinggal di wilayah Kelurahan Sebengkok mengungkapkan, saat dia menggunakan gas elpiji 12 kilogram (kg) biasanya dia harus merogoh kocek Rp 200 ribu. Namun tidak sampai dua minggu, Neneng terpaksa harus membeli lagi gas elpiji karena sudah habis. “Dalam satu hari kami bisa memasak empat sampai lima kali,” ujarnya.

Menurutnya menggunakan gas elpiji memang lebih repot karena kadang tabung gas sering habis dan jarang langsung tersedia di toko. Walhasil, Neneng terpaksa membeli gas elpiji lewat perantara temannya karena di toko yang dia beli terkadang memilih-milih pembeli. Sejak dia menggunakan gas bumi pada 2011 silam, Nenang mengaku hanya membayar sekitar Rp 100 ribu saja. “Pada saat tarif masih Rp 3.000 an kami masih bisa menghemat uang Rp 100 ribu,” jelas Neneng.

Ya, komitmen PGN membumikan pemakaian gas bumi terus dijalankan dengan memperluas jarigan pipa gas rumah tangga di beberapa kota dan juga pelaku industri. Setidaknya ada dua cara memperluas pemanfaatan gas bumi, yaitu membangun sendiri infrastruktur gas bumi untuk rumah tangga, baik melalui pipa maupun non pipa, dan bersinergi dengan Kementerian ESDM. Untuk di Tarakan, Kalimantan Utara sendiri setidaknya 21 ribu rumah tangga atau 65% dari total rumah tangga di Tarakan sudah bisa menikmati penggunaan gas bumi untuk kegiatan memasak.

 

Ramah Pelaku Industri

Untuk pelaku industri sendiri, kata Division Head of Corporate Communication PGN, Desy Anggia, perseroan terus mendorong pelaku industri merasakan manfaat dari gas bumi sebagai energi yang baik. Diungkapkannya, dengan beralih ke gas bumi PGN, industri dapat menekan biaya produksinya hingga 40% dari penghematan konsumsi bahan bakar. Menyadari industri adalah salah satu kontributor untuk pertumbuhan ekonomi nasional, maka efisiensi bahan bakar di setiap produksinya untuk meningkatkan daya saing adalah keharusan dan menggunakan gas bumi menjadi pilihannya.

Contohnya PT Fajar Surya Tridasa di Bekasi. Pabrik kertas yang terkemuka di Indonesia ini memilih beralih dari bahan bakar liquefied petroleum gas (LPG) ke gas bumi PGN pada pertengahan tahun lalu karena harganya lebih murah. “Dengan beralih ke gas bumi PGN, produsen kertas ini bisa efisien sekitar 40% dibanding sebelumnya menggunakan LPG," kata Desy.

Keuntungan lain menggunakan gas bumi PGN, menurut Desy, adalah adanya beragam penyaluran gas. Tidak lagi terbatas pada penyaluran melalui pipa saja, melainkan pemanfaatan gas dengan metode lain seperti CNG (Compressed Natural Gas). “Pelaku industri menengah dan menengah ke bawah seperti restoran dan hotel tetap bisa menikmati gas meskipun tidak ada sambungan ke jaringan pipa gas karena ada dalam bentuk CNG yang diantar ke pelanggan dengan kendaraan khusus,” kata dia.

Bukan itu saja, PGN juga memperluas manfaat gas dengan menyasar penyaluran gas untuk UMKM dengan konsep food truck. Food Truck ini dilengkapi dengan pengering, kompor, pendingin ruangan, dan generator listrik yang berbahan bakar gas bumi. Pemanfaatan gas bumi dalam bentuk CNG juga disalurkan untuk transportasi atau disebut GasKu. Program ini merupakan layanan penyaluran gas bumi untuk transportasi dengan menggunakan converter kit. “Ini semua upaya kami untuk mengoptimalkan program Smart Energy yakni bagaimana mengelola dan memanfaatkan energi secara efektif dan efisien,” ujar Desy.

Saat ini PGN telah memasok lebih dari 1.658 industri besar dan pembangkit listrik, lebih dari 1.984 pelanggan komersial, dan 177.710 pelanggan rumah tangga yang dibangun dengan investasi PGN sendiri. Konsumen PGN tersebut tersebar di 19 kabupaten/kota di 12 provinsi, di antaranya Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Sorong Papua.

BERITA TERKAIT

BI Rate Bakal Turun - Pasar Otomotif dan Mobil Bekas Masih Bisa Tumbuh

NERACA Jakarta – Meski pasar otomotif dalam negeri tengah lesu, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi industri tersebut dapat membaik…

Pasar Saham Masih Jadi Pilihan Jangka Panjang

NERACA Jakarta - Capital Sensitivity Analysis Index atau CSA Index menyebut pasar saham masih menjadi pilihan untuk investasi jangka panjang…

Jasa Marga Cetak Laba Bersih Rp585,92 Miliar

NERACA Jakarta – Kuartal pertama 2024, PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR) meraup laba bersih sebesar Rp585,92 miliar. Jumlah tersebut…

BERITA LAINNYA DI Bursa Saham

BI Rate Bakal Turun - Pasar Otomotif dan Mobil Bekas Masih Bisa Tumbuh

NERACA Jakarta – Meski pasar otomotif dalam negeri tengah lesu, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi industri tersebut dapat membaik…

Pasar Saham Masih Jadi Pilihan Jangka Panjang

NERACA Jakarta - Capital Sensitivity Analysis Index atau CSA Index menyebut pasar saham masih menjadi pilihan untuk investasi jangka panjang…

Jasa Marga Cetak Laba Bersih Rp585,92 Miliar

NERACA Jakarta – Kuartal pertama 2024, PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR) meraup laba bersih sebesar Rp585,92 miliar. Jumlah tersebut…